BIOTEKNOLOGI FUNGI BIOKONTROL DAN PENGEMBAGANNYA UNTUK APLIKASI DALAM BIDANG PERTANIAN, INDUSTRI RAMAH LINGKUNGAN DAN KESEHATAN
ABSTRAK
Untuk meminimalkan pemakaian pestisida kimiawi sintetik yang sering berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan, sejak beberapa tahun telah dikembangkan fungi biokontrol untuk perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Fungi biokontrol adalah fungi, atau yang lebih umum dikenal sebagai jamur benang, yang dapat menghambat secara biologis pertumbuhan patogen tanaman, parasit atau insekta. Mekanisme perlindungan tanaman oleh fungi biokontrol ini meliputi beberapa aspek biokimiawi di antaranya produksi dan pelepasan ke lingkungan enzim hidrolitik, metabolit sekunder yang bersifat anti-bakteri, anti-nematoda maupun anti-fungi lain, serta senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman, ataupun merangsang tanaman menghasilkan senyawa pertahanan diri. Kemampuan memproduksi dan melepaskan ke lingkungan pertumbuhannya berbagai senyawa ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan lain dari perlindungan tanaman. Enzim hidrolitik dapat digunakan untuk berbagai proses industri penting, seperti dalam proses penyiapan bahan baku untuk bioetanol, penyamakan kulit, biopulping, biobleaching, industri makanan, dan industri obat terapeutik. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh fungi biokontrol yang bersifat anti-bakteri, anti-nematoda ataupun anti-fungi dapat dikembangkan sebagai antibiotik baru atau untuk aplikasi perlindungan penyimpanan bahan hasil pertanian. Salah satu jenis metabolit sekunder yang dihasilkan fungi biokontrol dan kini mendapat banyak perhatian adalah peptaibol. Penelitian peptaibol mengindikasikan, peptaibol tidak saja berpotensi dikembangkan sebagai antibiotik, tetapi beberapa peptaibol ditengarai dapat menghambat progresivitas penyakit Alzheimer. Dikarenakan kemampuan biokimiawinya, beberapa fungi biokontrol memiliki kemampuan biotransformasi, sehingga berpotensi untuk digunakan dalam berbagai proses untuk produksi senyawa baru yang memiliki bioaktivitas tertentu. Makalah ini akan memperkenalkan pembaca kepada potensi bioteknologi fungi biokontrol, terutama yang berasal dari genus Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. sebagai sistem model.
PENDAHULUAN
Untuk meminimalkan pemakaian pestisida kimiawi sintetik yang sering berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan, sejak beberapa tahun telah dikembangkan fungi biokontrol untuk perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Fungi biokontrol adalah fungi, atau yang lebih umum dikenal sebagai jamur benang, yang dapat menghambat secara biologis pertumbuhan patogen tanaman, parasit atau insekta. Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh fungi untuk dapat digunakan sebagai fungi biokontrol, yaitu fungi tersebut tidak bersifat patogen terhadap hewan atau tanaman, kompatibel atau cocok dengan lingkungan pertumbuhan tanaman, dan jika akan digunakan di lahan pertanian yang telah pernah dilakukan penyemprotan dengan pestisida sintetik, maka fungi biokontrol tersebut harus resistan terhadap residu pestisida yang tersisa. Fungi biokontrol tidak terbatas pada fungi untuk perlindungan tanaman, tetapi juga termasuk fungi yang dapat mengurangi populasi nyamuk dan melindungi hewan dan manusia dari berbagai penyakit yang disebarkan oleh nyamuk/insekta lainnya.
Beberapa fungi biokontrol yang telah dikembangkan antara lain adalah Paecilomyces lilacinus, Pochonia chlamydosporia, Hirsutella rhossiliensis, H. minnesotensis (anti-nematoda) (Johnson et al., 2009) , Lecanicillium lecanii, Beauveria bassiana, Isaria takamizusanensis, Nomuraea anemonoides, Metharhizium anisoliae (anti-serangga patogen) (Sun dan Liu, 2006, Johnson et al., 2009, Sosa-Gomez et al., 2009, Scholte et al., 2005); Chaetomium sp (Tomilova dan Shternshis, 2006); Epicoccum nigrum sp (Larena et al., 2004)., Gliocladium sp. , Trichoderma viride (anti plant pathogenic fungi), dan Trichoderma harzianum (mycoparasitic dan anti nematodes) (Harman dan Kubicek, 1998, Harman, 2006).
Makalah ini akan mengulas berbagai aspek pengembangan ilmu tentang mikroba biokontrol untuk diaplikasikan dalam bidang pertanian, industri ramah lingkungan maupun kesehatan. Sebagai model ulasan, dititik beratkan pada mikroba dari genus Trichoderma dan Gliocladium. Selain memiliki kemampuan sebagai pelindung tanaman, beberapa spesies dari kedua genus ini memiliki potensi dalam industri bioteknologi dan kesehatan, karena kemampuannya menghasilkan berbagai biokatalisator (enzim) hidrolitik ekstraselular, dan juga antibiotik.
Kemampuan berbagai spesies dari kedua genus ini untuk menghasilkan enzim hidrolitik dan senyawa-senyawa antifungi, antikhamir dan antibakteri, tak lepas dari kemampuannya untuk melindungi tanaman dari berbagai penyakit. Enzim hidrolitik yang dihasilkan Trichoderma dan Gliocladium, meskipun di alam berfungsi bagi fungi tersebut dalam memperoleh makanan, dan juga melawan fungi atau mikroba lain, ternyata dapat digunakan untuk berbagai proses industri penting, seperti dalam proses penyiapan bahan baku untuk bioetanol, penyamakan kulit, biopulping, biobleaching, industri makanan, dan industri obat terapeutik. Salah satu spesies Trichoderma yang sudah dianggap begitu penting dalam bioteknologi, karena enzim-enzim yang dihasilkannya sudah banyak digunakan dalam proses industri, adalah Trichoderma reesei (dikenal juga sebagai Hypocrea jecorina, yaitu teleomorph—atau bentuk seksual—dari T. reesei). Begitu pentingnya spesies ini, sehingga seluruh genom dari spesies ini telah disekuens (disandi) (http://gsphere.lanl.gov/trire1/trire1.home.html) (Druzhinina et al.,2006). Fungsi sekuens genom ini adalah agar gen-gen yang berperan dalam produksi enzim, ataupun antibiotik dari spesies ini, maupun kerabat dekatnya, dapat digunakan untuk rekayasa protein biokatalisator, maupun rekayasa antibiotik, yang lebih efektif untuk aplikasi dalam berbagai bidang industri maupun farmasi.
Meskipun menitik beratkan makalah ini pada anggota spesies Trichoderma dan Gliocladium, makalah ini juga akan sedikit mengulas pengembangan menggunakan mikroba biokontrol lainnya seperti Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana dan dari genus Paecilomyces dan Cordyceps. M.anisopliae dan B. bassiana memegang peranan penting dalam memerangi penyebaran malaria, di samping sebagai anti serangga hama tanaman. Sebagai mikroba biokontrol, B. bassiana, Cordyceps dan Paecilomyces juga terbukti dapat menghasilkan berbagai senyawa yang berpotensi sebagai antibiotik, seperti juga Trichoderma dan Gliocladium.
PEMBAHASAN
Mekanisme Perlindungan Tanaman Oleh Fungi Biokontrol
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. merupakan jamur (fungi) filament (benang) dengan anggota spesies yang banyak digunakan dalam perlindungan tanaman alami sebagai fungi biokontrol. Sebagian besar dilaporkan sebagai pelindung tanaman terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur patogen (Harman, 2006), tetapi ada juga yang telah dilaporkan dapat melindungi tanaman terhadap nematoda (cacing kecil) (Sharon et al.,2009), bakteri (Watanabe et al., 2005) dan virus (Hanson dan Howell, 2004).
Berbagai hama dan penyakit tanaman yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. merupakan hama dan penyakit yang banyak menyerang tanaman hortikultura dan perkebunan penting. Sebagai contoh, berbagai galur dari spesies-spesies tertentu Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dapat melindungi tanaman kapas, tembakau dan timun terhadap Rhisoctonia solani (Hanson dan Howell, 2004, Lu et al., 2004), strawberi terhadap Botrytis cinerea (Sanz et al., 2005), jagung terhadap Pythium ultimum dan Colletotrichum graminicola (Harman et al., 2004a, Harman et al., 2004b, Harman, 2006), kelapa sawit terhadap Ganoderma boninense (Susanto et al., 2005), padi terhadap bakteri Burkholderia glumae, Burkholderia plantarii, dan Acidovorax spp. (Watanabe et al., 2005), pisang terhadap Fusarium sp. (Nugroho et al.,2002), bayam dan kangkung terhadap Albugo candida dan Albugo ipmoeae-panduratae (Marlina et al., 2006, Marlina, 2007, Ifriadi, 2005).
KLIK LINK; Perkembangan Industri Dewasa
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4893352573915100228#editor/target=post;postID=4469432761776885084;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link
KLIK LINK; Perkembangan Industri Dewasa
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4893352573915100228#editor/target=post;postID=4469432761776885084;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link
Kemampuan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk melindungi tanaman melibatkan beberapa mekanisme yang terkait dengan sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua galur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang merupakan fungi biokontrol efektif, akan tumbuh semakin baik di sekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiose mutualistis antara fungi biokontrol tersebut dengan tanaman yang dilindunginya. Oleh karena itu, mekanisme perlindungan tanaman oleh Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. tidak hanya melibatkan serangan terhadap patogen pengganggu, tetapi juga melibatkan produksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar, dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh & Harman, 2008, Conteras-Cornejo et al., 2009).
Mekanisme penyerangan terhadap patogen tanaman antara lain adalah melalui proses mikoparasitisme, yang melibatkan produksi berbagai enzim (biokatalis) hidrolitik (pemecah berbagai senyawa polimer) (Lorito et al.,1993, Brunner et al., 2003, Brunner et al., 2005, Suarez et al.,2004), dan sekresi (produksi dan pengeluaran) senyawa antifungi, antibakteri dan antinematoda (Vinale et al.,2006, Dong et al., 2005, Degenkolb et al., 2008). Selain itu, fungi biokontrol juga menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman, dan asam-asam organik yang membantu pelarutan fosfat dan mineral, sehingga mudah diserap tanaman (Benitez et al. , 2004, Zadworny et al., 2008). Kerja sinergis antara fungi biokontrol dengan tanaman inang yang dilindunginya, terlihat dari kemampuan galur-galur Trichoderma biokontrol untuk menginduksi tanaman memproduksi senyawa-senyawa perlindungan diri. Ibarat antibodi bagi hewan mamalia, tanaman pun memproduksi senyawa defensif untuk melindungi diri berupa fitoaleksin dan terpenoid. Hanson dan Howell (2004) menunjukkan bahwa endoxilanase, suatu enzim hidrolitik, yang dihasilkan T. virens mampu menginduksi peningkatan produksi fitoaleksin dan terpenoid oleh tanaman. Berbeda dengan patogen tanaman yang juga menginduksi peningkatan produksi senyawa defensif tanaman tersebut, endoxilanase dan senyawa penginduksi lainnya yang dihasilkan T. virens tidak menyebabkan nekrosis, atau kematian tanaman sel. Jadi efek endoxilanase dari T. virens terhadap tanaman inangnya, ibarat efek vaksin terhadap mamalia. Penelitian terbaru dari Shoresh et al. (2010) memperkuat temuan Hanson dan Howell tersebut, yakni kemampuan fungi biokontrol untuk memicu tanaman memproduksi berbagai senyawa, yang membantu tanaman tersebut tidak saja mengatasi gangguan patogen, tetapi juga mengatasi berbagai stress lingkungan.
Mikoparasitisme sebagai salah satu mekanisme penyerangan fungi biokontrol terhadap fungi patogen, dipengaruhi oleh kemampuan fungi biokontrol menghasilkan enzim hidrolitik (biokatalis pemecah berbagai polimer). Salah satu golongan enzim hidrolitik yang dianggap cukup penting peranannya pada proses mikoparasitisme dari beberapa fungi patogen adalah enzim-enzim kitinolitik, yang terdiri dari kitinase (Lu et al., 2004, Viterbo et al., 2001, Viterbo et al., 2002, Steyaert et al., 2004, Seidl, 2008). Kitinase adalah nama untuk golongan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan Beta-1,4 pada kitin dan oligomer kitin.
Kitin merupakan komponen penting dari dinding sel beberapa fungi patogen. Produksi kitinase oleh fungi biokontrol antara lain berfungsi untuk merusak kitin dinding sel fungi patogen. Mekanisme mikoparasitisme digambarkan Lu et al. (2004) dengan menggunakan sistem pelapor green fluorescent protein (GFP), yang dikonyugasi pada kitinase. Dengan GFP, ditunjukkan bagaimana kitinase akan diproduksi fungi biokontrol sebagai respon terhadap keberadaan fungi patogen di lingkungannya. Kitinase yang diproduksi fungi biokontrol kemudian akan berdifusi ke dinding sel fungi patogen, dan mematahkan atau merusak dinding sel fungi patogen tersebut. Proses ini akan diikuti pelilitan fungi biokontrol pada miselia (benang sel) fungi patogen, dan sekresi senyawa peptida kecil bernama peptaibol. Peptaibol akan melubangi membran sel fungi patogen (Elad et al., 1983).
Penelitian isolat empat galur fungi biokontrol Trichoderma dan Gliocladium dari tanah perkebunan jeruk dan coklat di Riau, yakni T. asperellum T.N.J63 dan T.N.C52, serta Gliocladium sp. T.N.C59 dan T.N.C73, menunjukkan mekanisme perlindungan yang terkait erat dengan enzim yang dihasilkan mikroba tersebut. Isolasi fungi biokontrol tersebut adalah berdasarkan kemampuannya menghasilkan kitinase (Nugroho et al.,2000, Nugroho et al., 2003). Ternyata keempat fungi tersebut mampu menghambat pertumbuhan suatu fungi patogen yang menyerang pisang dan yang dinding selnya mengandung kitin, yaitu Fusarium sp. (Nugroho et al., 2002). Gambar 1 menunjukkan bagaimana suatu koloni Fusarium sp. di“makan” oleh T. asperellum T.N.C59.
Keempat fungi biokontrol isolat Riau memiliki kemampuan yang berbeda dalam menginhibisi Phytophtora sp. maupun Albugo sp., dua fungi patogen lain yang dinding selnya tidak mengandung kitin. Tiga dari keempat fungi biokontrol tersebut mampu menghambat Phytophtora sp. dan Albugo sp .Dalam hal menghambat Phytophtora sp. dan Albuga sp., jelas bahwa kitinase tidak memegang peranan penting, tetapi terdapat mekanisme lain, yang berkaitan dengan kemampuan fungi biokontrol tersebut menghasilkan senyawa metabolit sekunder lainnya yang bersifat antifungi. Usaha isolasi metabolit sekunder tersebut mengindikasikan bahwa baik T. asperellum T.N.C52 (semula diidentifikasi sebagai T. harzianum T.N.C52), maupun Gliocladium T.N.C73 menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki kemampuan antibakteri, antifungi dan antikhamir (Nugroho et al.,2006, Jasril et al.,2006).
Proses industri ramah lingkungan adalah proses dengan sesedikit mungkin limbah. Kalaupun ada, idealnya limbah yang dihasilkan dapat dengan mudah terdegradasi (terurai) secara biologis atau alamiah, dan tidak menimbulkan dampak yang membahayakan kehidupan. Penggunaan biokatalis seperti enzim, merupakan faktor kunci dalam industri ramah lingkungan ini, sebagai pengganti katalis logam. Hal ini disebabkan enzim bersifat spesifik dan selektif, sehingga umumnya tidak menghasilkan senyawa samping. Karena enzim untuk industri umumnya merupakan protein, maka enzim juga mudah dipisahkan dari produk yang dihasilkan, dan enzim juga mudah didegradasi secara alamiah. Hal ini berbeda dengan penggunaan katalis logam, yang seringkali menimbulkan masalah industri, yakni menghasilkan senyawa samping dalam proses reaksi, dan masalah penanganan limbah. Enzim hidrolitik juga dapat digunakan dalam proses-proses industri untuk menggantikan senyawa-senyawa korosif dan berbahaya bagi lingkungan seperti asam kuat HCl, dan Klorin.
Berbagai fungi biokontrol, terutama dari genus Trichoderma, merupakan penghasil enzim hidrolitik ekstraseluler (disekresi ke luar sel). Enzim atau biokatalisator ini diproduksi Trichoderma bukan hanya untuk proses mikoparasitisme, tetapi juga untuk memperoleh nutrisi dari lingkungan hidupnya. Trichoderma reesei (Hypocrea jecorina) adalah produsen enzim sellulase dan xilanase terkenal, dan enzim-enzim ini telah lama dikomersialisasi oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Novozyme dan Genencor International. Pada tahun 2003 saja, nilai pasar dari selulase di Amerika Serikat adalah US$ 280 juta, hanya untuk industri tekstil, deterjen dan makanan (Cavaco-Paulo dan Gubitz, 2003). Dalam industri tekstil misalnya, selulase digunakan untuk membuat hasil cucian atau tekstil menjadi lebih kinclong. Selulase digunakan antara lain dalam industri jins, untuk membuat jins dengan efek stone wash (seolah dicuci dengan dipukulkan pada batu), atau jins denim lembut (Miettinen-Oinonen & Suominen, 2002).
Dalam era pengembangan energi alternatif minyak bumi seperti dewasa ini, selulase menjadi enzim yang sangat penting untuk penyediaan bahan baku bioetanol dari limbah pertanian. Enzim ini dinilai begitu penting, sehingga US Department of Energy Office (DOE) menyediakan dana besar untuk riset selulase, untuk menekan biaya produksi selulase, sekaligus merekayasa selulase yang stabil (Potera, 2006). Trichoderma reesei mendapat perhatian khusus, untuk pengembangan enzim ini, ditunjukkan dengan telah disekuensnya seluruh genom dari fungi ini (Druzhinina et al., 2006).
Selain selulase dan xilanase, berbagai spesies Trichoderma sp. menghasilkan enzim-enzim lain yang tidak kalah pentingnya untuk industri. Tabel 1 memberikan contoh-contoh enzim ekstrasellular yang dihasilkan oleh berbagai spesies Trichoderma, termasuk spesies Trichoderma biokontrol isolat Riau.
Beberapa enzim untuk industri yang penting juga dihasilkan oleh Trichoderma dan Gliocladium isolat Riau, yaitu keluarga kitinase (EC 3.2.1.14) dan N-asetilglukosaminidase (NAG) (EC 3.2.1.52) (Nugroho et al., 2003). Kitinase dan NAG digunakan dalam industri bioteknologi untuk memproses kitin menjadi berbagai turunannya (Binod et al., 2007, Nagy et al., 2007). Kitin adalah polimer karbohidrat yang juga berada dalam kulit udang dan kepiting. Berbagai turunan kitin digunakan dalam produk kesehatan seperti benang untuk pembedahan (Di Martino et al., 2005, Muzzarelli et al., 2005), produk farmasi untuk kosmetik, suplemen makanan dan penjernihan air (Sashiwa et al., 2003, Muzzarelli et al., 1999). Penggunaan kitinase untuk produksi turunan kitin merupakan usaha untuk menekan penggunaan asam kuat HCl yang umum digunakan dalam proses produksi turunan kitin konvensional.
Trichoderma dan Gliocladium isolat Riau juga menghasilkan laminarinase (Silitonga, 2008, Ulina, 2008, Nugroho et al., 2008). Laminarinase adalah istilah umum untuk kumpulan enzim yang dapat memutus ikatan Beta-1,6-glikosidik (EC 3.2.1.75) dan ikatan Beta-1,3-glikosidik ekso-(EC 3.2.1.58) maupun endo-(EC 3.2.1.6 dan EC 3.2.1.39). Beberapa aplikasi penting dari laminarinase adalah di bidang farmasi, untuk memodifikasi beberapa karbohidrat jamur yang digunakan sebagai obat antitumor dan penekan imunitas (Ooi dan Liu, 2000; Kimura et al.,2006). Modifikasi ini sering diperlukan untuk menghasilkan obat dengan aktivitas yang lebih baik (Nobe et al., 2003; Nobe et al.,2004). Campuran laminarinase dan kitinase juga digunakan untuk menghasilkan protoplasma berbagai jamur dan khamir untuk proses fusi sel dan rekayasa genetika, dalam rangka penciptaan galur-galur unggul untuk industri fermentasi antibiotik, pelarut organik, bioetanol dan bahan baku obat lainnya (Jung et al., 2000, Bekker et al., 2009).
Beberapa galur Trichoderma menghasilkan enzim 1,3-glukanase (Sanz et al., 2005) dan amilase (Noguchi et al., 2008). 1,3-glukanase berpotensi untuk digunakan sebagai pasta gigi enzimatik, untuk menghambat pertumbuhan streptocooci penyebab gigi berlubang (Ait-Lahsen et al., 2001; Fuglsang et al., 2000). Noguchi et al. (2008) menggunakan amilase Trichoderma viride JCM22452, untuk modifikasi berbagai senyawa bioaktif flavonoid, yang akan diulas lebih lanjut pada bagian IV makalah ini.
Trichoderma harzianum T34, suatu galur biokontrol, menghasilkan enzim kutinase (Rubio et al., 2008). Enzim kutinase adalah enzim yang dapat menghidrolisis ester dari asam lemak, dan trigliserida, seefisien lipase. Kelebihan kutinase dari lipase, adalah kutinase tak perlu diaktivasi pada antarmuka lipid-air, sehingga memiliki aplikasi industri, sebagai deterjen. Karena kegunaan industri sebagai deterjen, Rubio et al. (2008) mengisolasi gen kutinase dari T. harzianum T34 tersebut, dan memasukkannya ke dalam ragi Pichia pastoris, untuk memudahkan produksi kutinase dalam skala industri ekonomis.
Fungi Biokontrol Sebagai Penghasil Antibiotik Baru, Anti-Kanker dan Bahan Baku Farmasi Lainnya Melalui Kemampuan Biotransformasi
Berbagai galur Trichoderma memproduksi berbagai senyawa metabolit sekunder yang bersifat antibakteri, antinematoda, antifungi, atau antikhamir. Berbagai antibiotik dan antifungi yang telah diisolasi dari Trichoderma dan Gliocladium sp. antara lain merupakan senyawa steroid seperti viridiol (Wipf & Kerekes, 2003), azaphilon (Vinale et al., 2006), derivat terpenil (Guo et al.,2007), hingga peptaibol (Duclohier, 2007) dan peptaibiotik (Degenkolb et al., 2008). Selain metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antibiotik, beberapa senyawa turunan gliotoksin yang dihasilkan oleh Gliocladium roseum, memiliki kemampuan anti-anggiogenik, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat anti-rematik arthritis, dan anti-kanker (Lee et al., 2001). Begitu pula, penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat jenis peptaibol Trichoderma yang memiliki kemampuan dikembangkan sebagai obat kanker yang hanya menargetkan sel kanker, dan tidak menggangu sel normal (Shi et al., 2010).
Maraknya perkembangan bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotik yang sekarang ada di pasaran, telah memicu penelitian untuk mendapatkan antibiotik-antibiotik baru. Golongan peptaibol dan peptaibiotik merupakan kandidat antibiotik baru yang dianggap penting, sehingga berbagai laboratorium kini berlomba dalam mengisolasi, memahami struktur dan bioaktivitasnya. Pentingnya peptaibol dan peptaibiotik tercermin dari dibangunnya suatu basis data online khusus untuk golongan senyawa ini (www.cryst.bbk.ac.uk/peptaibol). Hampir separuh dari 300 peptaibol dalam basis data tersebut bersumber dari genus Trichoderma.
Peptaibiotik adalah antibiotik peptida non-ribosomal rantai pendek (umumnya kurang dari 20 residu) yang kaya dengan asam amino unik non-proteinogenik, yaitu asam aminoisobutirat (Aib), dan pada beberapa kasus juga mengandung asam amino teralkilasi seperti isovalin (Iva), atau asam imino hidroksiprolin. Diversitas peptaibiotik, selain disebabkan variasi dari asam amino pembentuknya, juga disebabkan gugus yang terdapat pada ujung C dari peptide tersebut. Peptaibiotik yang juga mengandung gugus 1,2-amino alkohol pada ujung C-nya disebut peptaibol (Krause et al., 2006).
Umumnya peptaibol yang sudah diteliti menghambat bakteri gram positif, Mycoplasma dan Spiroplasma (Duval et al., 1997). Trichoderma asperellum T. N.J63 dan T.N.C52, dan Gliocladium sp. T.N.C73 isolat Riau, juga menghambat pertumbuhan bakteri gram positif, fungi patogen dan khamir. Penelitian pendahuluan oleh penulis dengan tim peneliti dari FMIPA, UNRI mengindikasikan bahwa senyawa anti-bakteri dan anti-khamir ini kemungkinan besar merupakan peptaibol (Nugroho et al. , 2006; Jasril et al., 2006).
Penelitian bioaktivitas peptaibol menunjukkan bahwa beberapa peptaibol memiliki bioaktivitas lain yang tak kalah pentingnya dari aktivitas antibiotik. Sebagai contoh adalah SPF-5506-A4, suatu peptaibol yang diproduksi Trichoderma sp. SPF-5506 dapat menginhibisi pembentukkan plak amiloid peptide-beta, sehingga dapat digunakan untuk menghambat progresifitas penyakit Alzheimer (Hosotani et al., 2007). Peptaibol dari fungi lain, ada yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor integrase HIV-1,sehingga dapat digunakan sebagai salah satu obat anti-HIV (AIDS) (Singh et al., 2002). Shi et al. (2010) menemukan peptaibol produksi Trichoderma pseudokoningii SMF2 memiliki kemampuan menginhibisi pertumbuhan tumor, dengan menginduksi apoptosis (bunuh diri) sel kanker hepatoma. Peptaibol ini tidak mempengaruhi pertumbuhan sel sehat, sehingga cocok untuk dikembangkan sebagai obat yang menargetkan penghambatan sel kanker secara spesifik. Beragam aktivitas peptaibol ini dari berbagai fungi biokontrol menunjukkan potensi strategis untuk pengembangan obat farmasi.
Berbagai galur dari fungi biokontrol juga digunakan untuk biotransformasi (sintesis) berbagai senyawa untuk keperluan farmasi dan bahan baku kimia lainnya, baik secara fermentasi langsung, maupun melalui penggunaan enzimnya. Biotransformasi dewasa ini merupakan metode yang banyak digunakan oleh ahli kimia, farmasi dan biokimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia dan farmasi secara ekonomis dan ramah lingkungan (Huisman et al., 2002). Berbagai reaksi kimia yang umumnya sulit dilakukan secara reaksi kimia organik sintetik klasik (konvensional), dengan biotransformasi dapat dilakukan dengan relatif mudah dan ekonomis. Sifat selektif dan proses biotransformasi yang umumnya dilakukan pada kondisi reaksi lunak (pH dan temperatur fisiologis sel) meminimalkan pencemaran, dan meminimalkan sintesis senyawa samping yang tidak dikehendaki. Fungi biokontrol yang dapat digunakan untuk biotransformasi bukan saja dari genus Trichoderma dan Gliocladium, tetapi juga dari berbagai mikroba biokontrol lainnya, misalnya dari genus Beauveria dan Cordyceps.
Seperti telah disebutkan, biotransformasi dapat dilakukan secara tak langsung dengan menggunakan enzim yang dihasilkan fungi biokontrol. Noguchi et al., (2008) menggunakan amilase Trichoderma viride JCM22452, untuk modifikasi berbagai senyawa bioaktif flavonoid. Flavonoid adalah senyawa polifenolik yang terdapat pada tanaman. Banyak dari anggota keluarga flavonoid yang memiliki kemampuan antibakteri, antikanker dan antioksidan. Salah satu senyawa flavonoid yang dikenal umum adalah katekin yang terdapat pada teh hijau. Katekin, selain memiliki sifat antioksidan, juga dapat menghambat karies gigi (mikroba pembentuk lubang pada gigi), dan membantu pengaturan lipid plasma darah. Namun, penggunaan Katekin sebagai aditif makanan terbatas, karena kelarutannya dalam air rendah, mudah terdegradasi dan memiliki rasa pahit. Modifikasi katekin menggunakan amilase Trichoderma viride JCM22452 menghasilkan beberapa glukosida turunan baru yang memiliki beberapa perbaikan sifat katekin, yakni berkurang rasa pahit, lebih tahan (stabil) terhadap suhu tinggi, dan memiliki peningkatan kelarutan dalam air (Noguchi et al., 2008).
Biotransformasi secara fermentasi langsung yang telah berhasil dan dilaporkan, lebih banyak menggunakan spesies Gliocladium daripada Trichoderma. Berbagai lakton sesquiterpen memiliki aktivitas biologis, seperti anti-kejang, tetapi juga memiliki sifat sitotoksik (racun untuk sel) yang kuat. Untuk mengurangi sifat sitotoksik ini, beberapa peneliti berusaha menggunakan teknik biotransformasi untuk menghidroksilasi sesquiterpen tersebut. Menggunakan Gliocladium roseum , Garcia-Granados et al., (2002), berhasil memproduksi beberapa turunan suatu lakton sesquiterpen terhidroksilasi pada posisi yang secara stereokimia akan sulit dilakukan, jika menggunakan reaksi kimia organik sintetik konvensional. Dong et al., (2007), juga berhasil menghidroksilasi suatu triterpenoid menggunakan Gliocladium roseum.
Seperti telah disebutkan, fungi biokontrol dari genus lain, misalnya dari genus Beauveria, Cordyceps dan Paecilomyces juga menghasilkan berbagai senyawa antibiotik potensial baru, dan juga digunakan untuk proses biotransformasi dalam rangka produksi berbagai obat farmaseutikal. Sebagai contoh, Beauveria bassiana ATCC 13144, yang merupakan fungi biokontrol anti-insekta, digunakan pada proses biotransformasi untuk menghasilkan turunan obat pengendali tekanan darah, dan obat pembuluh jantung (kardiovaskular) (Preisig et al.,2003).
PENUTUP
Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. merupakan fungi biokontrol yang tidak saja penting untuk pertanian, tetapi memiliki potensi bioteknologi penting untuk industri ramah lingkungan dan farmasi. Hal ini disebabkan kemampuan berbagai spesies dari kedua genus tersebut menghasilkan berbagai enzim yang penting untuk berbagai proses industri, baik untuk proses-proses hidrolitik, maupun untuk proses-proses biotransformasi.
Dengan biotransformasi secara langsung ataupun tak langsung menggunakan fungi biokontrol, dapat dihasilkan berbagai bahan baku kimia dan farmasi bernilai ekonomi tinggi. Spesies dari kedua genus tersebut juga memiliki kemampuan menghasilkan berbagai metabolit sekunder dengan aktivitas biologis, yang berpotensi dikembangkan sebagai antibiotik, antiviral, ataupun obat teraupeutik lainnya. Meskipun sekitar 100 spesies dari kedua genus ini telah diidentifikasi (Druzhinina, 2006), Samuels (2006) memprediksi bahwa masih banyak spesies yang belum diisolasi dan diidentifikasi, terutama dari daerah-daerah yang belum tereksplorasi, seperti hutan-hutan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian. Kebanyakan spesies yang diisolasi di Indonesia berasal dari tanah perkebunan dan pertanian. Masih sedikit sekali dilaporkan spesies dari kedua genus tersebut yang diisolasi dari tanah hutan primer Indonesia, maupun sebagai endofit, atau jamur yang hidup dalam jaringan tanaman.
Hal yang sama diprediksi berlaku juga untuk berbagai fungi biokontrol dari genus lain seperti Beauveria , Cordyceps dan Paecilomyces. Pacharawongsakda et al., (2009) menggunakan teknologi bioinformatika untuk memprediksi daerah terbaik untuk menemukan fungi biokontrol yang menghasilkan antibiotik baru. Menggunakan teknik yang dikembangkannya, Pacharawongsakda et al., (2009) berhasil mengisolasi dua spesies Cordyceps dari Doi Innthanon National Park, Chiang Mai, Thailand, yang menghasilkan lima senyawa bioaktif baru. Teknik yang dikembangkan tersebut, sangat mungkin membantu mempermudah penemuan beragam fungi biokontrol penghasil antibiotik baru dari daerah-daerah hutan di Indonesia yang begitu luas, dengan ekosistem beragam.
Kekayaan khasanah biokimiawi yang dimiliki fungi biokontrol masih perlu digali, untuk dapat dimanfaatkan secara optimal. Pekerjaan besar menanti kita, sebelum kekayaan hayati terpendam dari fungi biokontrol yang belum sempat diisolasi hilang akibat pemusnahan biodiversitas hutan yang tak bertanggung jawab. Tugas kita bukan saja menyelamatkan kekayaan hayati fungi biokontrol dengan mengisolasi, dan meneliti biokimia dan biologi molekuler fungi tersebut, tetapi juga mempersiapkan peneliti-peneliti generasi penerus.
Peneliti-peneliti penerus yang diperlukan untuk menggali dan memanfaatkan potensi fungi biokontrol adalah peneliti yang berasal dari berbagai bidang. Kerjasama erat diperlukan antara peneliti laboratorium biokimia, mikrobiologi, kimia organik, kimia analitik, kimia fisik, bioanorganik, biologi molekuler, bioinformatik, farmasi, maupun peneliti lapangan pertanian, teknik kimia, dan proses industri, sehingga dapat dihasilkan berbagai produk turunan fungi biokontrol yang bernilai ekonomis tinggi, dan pada gilirannya mampu menyejahterakan masyarakat dunia.
DAFTAR PUSTAKA;
- Ait-Lahsen,H., Soler,A., Rey,M., De La Cruz,J., Monte,E. and Llobell,A. (2001). An antifungal exo-a-1,3-glucanase (AGN13.1) from the biocontrol fungus Trichoderma harzianum. Appl. Environ. Microbiol. 67:5833-5839.
- Bara, M.T., Lima,A.L. and Ulhoa,C.J. 2003. Purification and characterization of an exo-beta-1,3-glucanase produced by Trichoderma asperellum. FEMS Microbiol. Lett. 219:81--85.
- Bekker, C., Wiebenga, A., Aguilar, G., Wosten, H. A. B. 2009. An enzyme cocktail for efficient protoplast formation in Aspergillus niger. Journal of Microbiological Methods 76: 305--306.
- Benitez, T., Rincón, A. M., Limón, M. C., Codón, A. C. 2004. Biocontrol mechanisms of Trichoderma strains. Int. Microbiol. 7: 249--260.
- Binod, P., Sandhya, C., Suma, P., Szakacs, G., Pandey, A. 2007. Fungal biosynthesis of endochitinase and chitobiase in solid state fermentation and their application for the production of N-acetyl-D-glucosamin from colloidal chitin. Bioresource Technology 98: 2742-2748.
- Brunner, K., Peterbauer, C. K., Mach, R. L., Lorito, M., Zeilinger, S., Kubicek, C. P. 2003. The Nag1 N-acetylglucosaminidase of Trichoderma atroviride is essential for chitinase induction by chitin and of major relevance to biocontrol. Curr. Genet. 43:289-295.
- Bruner, K., Zeilinger, S., Ciliento, R., Woo, S.L., Lorito, M., Kubicek, C. P., Mach, R. L. 2005. Improvement of the fungal biocontrol agent Trichoderma atroviride to enhance both antagonism and induction of plant systemic disease resistance. Appl. Environ. Microbiol. 71: 3959-3965.
- Cavaco-Paulo, A., Gubitz, G. M. 2003. Textile processing with enzymes. Woodland Publishing. 228 halaman.
- Claysens, M., Nerinckx, W., Piens, K. (eds.). (1998). Carbohydrases from Trichoderma reesei and other microorganisms: Structures, Biochemistry, Genetics and Applications. The Royal Society of Chemistry, Cambridge.
- Conteras-Cornejo, H. A., Macias-Rodriguez, L., Cortes-Penagos, C., Lopez-Bucio, J. 2009. Plant Physiology 149: 1579-1592.
- Degenkolb, T., von Dohren, H., Nielsen, K. F., Samuels, G. J., Bruckner, H. 2008. Recent advances and future prospects in peptaibiotics, hydrophobin, and mycotoxin research, and their importance for chemotaxonomy of Trichoderma and Hypocrea. Chem. Biodivers. 5: 671-680.
- De La Cruz,J., and Llobell,A. (1999). Purification and properties of a basic endo-b-1,6-glucanase (BGN16.1) from the antagonistic fungus Trichoderma harzianum. Eur. J. Biochem. 265: 145-151.
- Devi, S., Nugroho, T. T., Chainulfiffah, AM, Dahliaty, A., Hendri. 2000. Isolasi dan pemurnian selulase dari Trichoderma viride TNJ63 In: Feliatra & Amin, B. (eds.) Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dosen Universitas Riau Tahun 2000. Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan, Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 130-139.
- Devi, S., Indriati, Nugroho, T. T. 2001a. Pemurnian selulase ekstrak selular. Jurnal Natur Indonesia 4: 15-24.
- Devi, S., Nugroho, T. T., Chainulfiffah, A. M. 2001b. ”Analisis aktivitas-glukosidase dari Trichoderma viride TNJ63”. Laporan, Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.
- Duclohier, H. 2007. Peptaibiotics and peptaibols: an alternative to classical antibiotics? Chem. Biodiv. 4:1023-1026.
- Harman, G. E. 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma spp. Phytopathology 96:190-194.
- Krause, C., Kirschbaum, J., Bruckner, H. 2006. Peptaibiomics: an advance, rapid and selective analysis of peptaibiotics/peptaibols by SPE/LC-ES-MS. Amino Acids 30:435--443.
- Larena, I., De Cal, A., Melgarejo, P. 2004. Solid substrate production of Epicoccum nigrum conidia for biological control of brown rot on stone fruits. Int. J. Food Microbiol. 94: 161--167.
- Lee, H. J., Lee, J. H., Hwang, B. Y., Kim, H. S., Lee, J. J. (2001). Anti0angiogenic activities of gliotoxin and its methylthioderivative, fungal metabolites. Arch. Pharm. Res. 24: 397—401.
- Lorito, M., Harman, G. E., Hayes, C. K., Broadway, R. M., Tronsmo, A., Woo, S.L., Di Pietro, A. 1993. Chitinolytic enzymes produced by Trichoderma . Phytopathology 83: 302—307.
- Muzzarelli, R. A. (1999). Native, industrial and fossil chitins. EXS 87:1-6.
- Nobe, R., Sakakibara, Y., Ogawa, K., Suiko, M. 2004. Cloning and expression of a novel Trichoderma viride Laminarinase AI Gene (lamA1). Biosci. Biotechnol. Biochem. 68: 2111-2119.
- Nugroho, T. T., Ali, M., Ginting, C., Wahyuningsih, Dahliaty, A., Devi, S., Sukmarisa, Y. 2003. Isolasi dan karakterisasi sebagian kitinase Trichoderma viride TNJ63. Jurnal Natur Indonesia 5:101—106.
- Ooi,V.E.C. and Liu,F. 2000. Immunomodulation and anti-cancer activity of polysaccharide-protein complexes. Current Medicinal Chemistry. 7: 715--729.
- Potera, C. 2006. Progress with biofuels will depend on, drive microbiology research. Microbe 1:317--322.
- Rubio, M. B., Cardoza, R. E., Hermosa, R., Gutierrez, S., Monte, E. 2008. Curr. Genet. 54: 301—312.
- Samuels, G. J. 2006. Trichoderma: systematic, the sexual state, and ecology. Phytopathology 96:195--206.
- Seidl.,V., Huemer,B., Seiboth,B. and Kubicek,C.P. 2005. A complete survey of Trichoderma chitinases reveals three distinct subgroups of family 18 chitinases. FEBS Journal. 272: 5923--5939.
- Sharon, E., Chet, I., Spiegel, Y. 2009. Imporved attachment and parasitism of Trichoderma on Meloidogyne javanica in vitro. Eur.J. Plant. Pathol. 123:291-299.
- Shoresh, M., Harman, G. E. 2008. The relationship between increased growth and resistance induced in plants by root colonizing microbes. Plant Signaling & Behavior 3: 737--739
- Shoresh, M. Harman, G. E., Mastouri, F. (2010). Induced systemic resistance and plant responses to fungal biocontrol agents. Annu. Rev. Phytopathol. 48: Epub-ahead of print.
- Silitonga, A. 2008. Produksi enzim laminarinase Trichoderma sp. lokal Riau. Skripsi S1. FMIPA, Universitas Riau, Pekanbaru.
- Sun, M., Liu, X. 2006. Carbon requirements of some nematophagous, entomopathogenic and mycoparasitic hyphomycetes as fungal biocontrol agents. Mycopathologia 161: 295--305.
- Susanto, A., Sudharto, P. S., Purba, R. Y. 2005. Enhancing biological control of basal stem rot disease (Ganoderma boninense) in oil palm plantations. Mycopathologia 159: 153--157.
- Tomilova, OG., Shternshis, MV. 2006. Effect of a preparation from Chaetomium fungi on the growth of phytopathogenic fungi. Prikl. Biokhim. Mikrobiol. 42: 76--80.
- Tomomatsu, H. 1994. Health effects of oligosaccharides. Food Technol. 48: 61--65.
0 komentar:
Posting Komentar