Jumat, 03 Februari 2017

Pembangunan Ekonomi Nasional; Sektor Pertanian

Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional: Sektor Pertanian Sebagai “Prime Mover”
Pembangunan Ekonomi Nasional
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan sarana untuk secara bersama-sama kita memahami dan menyelami kedudukan dan arti penting sektor pertanian yang secara luas meliputi pula bidang kehutanan, kelautan dan perikanan. Kesepahaman ini penting karena selama ini terjadi banyak ketidakserasian antara konsep pembangunan yang direncanakan dengan pelaksanaannya. Selain itu banyak pula pengelolaan pertanian, pemanfaatan hutan dan laut yang masih belum digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Sebagai akibatnya, kemajuan di bidang pertanian masih ketinggalan dibanding negara-negara lain, dan kesejahteraan sebagian besar petani masih berada di bawah rata-rata kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sumber daya pertanian belum dimanfaatkan secara optimal dan sumber daya hutan dan kelautan masih banyak diserap dan dimanfaatkan oleh masyarakat di luar negeri. Untuk itu, kita masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kekurangan dan kekeliruan kita dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, hutan dan laut yang selama ini kita lakukan.

Sebagai satu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, kita sudah sepakat bahwa pembangunan nasional harus mampu memanfaatkan sumber daya yang kita miliki untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan harus dapat mewujudkan perekonomian yang terus mengalami pertumbuhan yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Perekonomian yang berjalan tanpa pertumbuhan, atau dengan pertumbuhan tetapi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, dapat mengakibatkan memburuknya kesejahteraan masyarakat, yang kemudian dapat memicu terjadinya kekacauan sosial. Situasi seperti ini telah pernah kita alami pada waktu yang lalu, bahkan akhir-akhir ini.

Selanjutnya, pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang seimbang. Perubahan struktural terus terjadi pada perekonomian Indonesia, akan tetapi perubahan yang terjadi menghasilkan adanya ketimpangan antarsektor yang kemudian menumbuhkan struktur ekonomi yang rapuh; struktur ekonomi yang dapat dengan mudah dipengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di suatu sektor tanpa dapat digantikan oleh sektor lainnya. Sebagai contoh, pembangunan industri yang kurang memperhatikan dan memanfaatkan sumber daya alam dan hasil pertanian yang melimpah yang kita miliki, dengan mudah tergoyang oleh perubahan-perubahan yang terjadi di dunia luar.

Pembangunan juga harus dapat membentuk perekonomian yang sehat yaitu perekonomian yang mampu menjaga kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pertumbuhan ekonomi yang kurang merata dan perubahan struktur ekonomi yang tidak seimbang, tidak akan dapat memanfaatkan sumber daya secara optimal, atau bahkan merusaknya, menghasilkan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan mudah hancur oleh pengaruh dari luar. Keadaan seperti itu akan meninggalkan dan mewariskan beban dan bukan hasil pertumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan bagi generasi mendatang. Dengan demikian, di masa depan kita dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang dinamis menuju perubahan struktur yang seimbang, meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan, tanpa merusak sumber daya alam dan lingkungan.

Dalam rangka mewujudkan pembangunan seperti itu kita tidak dapat melepaskan diri dari kondisi yang kita miliki saat ini dan perubahan-perubahan yang terjadi di negara-negara lain. Pada saat ini kita masih pada kondisi perekonomian yang rapuh, memiliki sumber pembiayaan yang terbatas dan diiringi dengan beban hutang dalam dan luar negeri yang sangat besar. Dengan sumber pembiayaan yang terbatas, pertumbuhan antarsektor yang kurang seimbang, kerusakan sumber daya alam yang semakin memburuk, kita semua harus bekerja keras untuk dapat mewujudkan pertumbuhan dan keadaan perekonomian yang kita angankan sebagaimana saya sebutkan di atas. Dengan kondisi tersebut, kita dihadapkan pada sistem perdagangan yang semakin bebas dan terbuka yang memberikan tingkat persaingan ketat dan keleluasaan untuk melindungi perekonomian domestik yang semakin terbatas. Pada saat yang bersamaan, kita juga dihadapkan pada tahap awal proses desentralisasi dan otonomi daerah.

Dengan latar belakang seperti itu, pada masa pemulihan ekonomi yang masih berjalan lamban ini, maka kita sekali lagi harus berpaling kembali kepada sumber daya alam yang masih kita miliki, dan dimana sebagian besar masyarakat mempunyai keahlian di bidangnya. Atau dengan kata lain, kita harus dapat menyusun konsep pembangunan yang menempatkan pembangunan pertanian dan pemanfaatan sumber daya alam sebagai mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional.

Pengalaman Pembangunan di Masa Lalu
Dengan tetap memberi penghargaan tinggi pada pelaku pembangunan di masa lalu, pembangunan ekonomi di masa lalu dirasakan lebih diarahkan untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi, dengan harapan bahwa hasil pertumbuhan ekonomi tersebut akan secara otomatis mengalir pada lapisan masyarakat di bawahnya sehingga seluruh lapisan masyarakat secara bertahap akan meningkat kesejahteraannya. Namun yang terjadi tidaklah demikian.

Untuk membangun dengan tingkat pertumbuhan tinggi diperlukan modal yang sangat besar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Kebutuhan ini didukung oleh hutang luar negeri dan investasi asing. Dukungan permodalan dan investasi tersebut sudah diarahkan ke sektor-sektor yang dinilai dapat tumbuh dengan cepat. Namun demikian, pemanfaatan dan pengelolaan hutang luar negeri tersebut tidak dilakukan secara optimal dan kebocoran terjadi di sana-sini. Selanjutnya, investasi di sektor industri dilakukan untuk mengejar pertumbuhan cepat dan tinggi dengan mengembangkan foot loose industry yang merupakan relokasi dari negara-negara maju dan tidak berbasis pada potensi dan pengembangan sumber daya yang kita miliki. Akibatnya, sistem pembangunan seperti itu tidak dapat menumbuhkan daya saing dan tidak sustainable. Pada saat negara lain memiliki sumber daya yang dapat menggantikan keunggulan kita sebagai host dari industri semacam itu, keunggulan kita sebagai tempat investasi yang termurah dengan mudahnya dikalahkan oleh Vietnam, Laos dll. Selanjutnya, pemanfaatan sumber daya alam (renewable resources) juga dilakukan secara mudah dan cepat untuk dapat menghasilkan pendapatan yang tinggi secara cepat, sehingga tidak sempat dimanfaatkan untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Eksploitasi hutan dan laut dilakukan dengan tidak memperhatikan tingkat pertumbuhannya dan bahkan tingkat eksploitasi yang melebihi kapasitas tumbuh (growth capacity) serta akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat sekitar dan lingkungannya. Pembangunan pertanian juga masih bertumpu pada pembangunan on-farm untuk menghasilkan bahan mentah, yang memang banyak diekspor sebagai bahan baku industri di luar negeri.

Harus diakui bahwa pembangunan pada masa lalu, pada tingkat tertentu telah berhasil mengembangkan dan menyerap tenaga kerja yang terus tumbuh, mengurangi jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan menjaga stabilitas makro-ekonomi nasional. Paling tidak pembangunan pada masa lalu sudah dapat menyelamatkan masyarakat Indonesia melalui dua masa krisis ekonomi yaitu tahun 1986 dan tahun 1998. Dalam masa krisis tersebut sektor pertanianlah yang tetap tegar dan berlangsung selama krisis dan menjadi tumpuan masyarakat yang tidak berhasil menjalankan usaha di sektor lainnya. Dengan beban seperti itu, sektor pertanian sampai saat ini masih memiliki tingkat produktivitas yang rendah, memberikan pendapatan yang memiliki perbedaan yang besar dengan sektor lainnya, dan sekarang malahan menghadapi hantaman persaingan produk dari pasar luar negeri. Meskipun demikian, kita harus sekali lagi meninjau ulang konsep pembangunan kita dengan menempatkan pertanian sebagai penggerak ekonomi di masa mendatang, yang didukung oleh pengembangan industri yang berbasis pertanian secara luas termasuk kehutanan dan kelautan. Angan-angan tersebut masih valid berdasarkan konstitusi dan fakta empiris tentang urgensi sektor agribisnis sebagai sektor andalan, maupun peranannya dalam perekonomian Indonesia.

Pemanfaatan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumber daya yang dimiliki dan atau dikuasai oleh rakyat banyak. Sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat Indonesia adalah sumber daya manusia (tenaga, pikiran, waktu, nilai-nilai budaya dan moral) dan sumber daya alam (lahan, hutan, perairan, keanekaragaman hayati, dan iklim tropis). Kedua sumber daya tersebut merupakan keunggulan komparatif (comparative advantages) yang dimiliki Indonesia. Dengan demikian, pembangunan ekonomi Indonesia harus didasarkan dan sepenuhnya memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam tersebut. Dengan demikian, pembangunan nasional akan memungkinkan sebagian besar masyarakat untuk berperanserta dan sumber daya alam yang dimiliki dapat dimanafaatkan sepenuhnya. Tentu saja pembangunan yang berbasis sumber daya alam tetap tidak mengesampingkan dukungan sumber daya modal (capital), teknologi, dan manajemen modern. Namun pemanfaatan sumber daya modal dan teknologi harus yang dapat mendukung dan mengembangkan sumber daya alam dan manusia dan bukan menggantikan dan mematikannya. Dengan demikian, hasil dari pembangunan berupa remunerasi, sewa, royalti, rent, dan profit akan kembali pula kepada masyarakat Indonesia dan sumber daya alam lokal.

Amanat konstitusi tersebut secara politis makin dipertegas dalam GBHN 1999 – 2004 yang mengamanatkan arah pembangunan ekonomi nasional sebagai berikut:

  1. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah (terutama pertanian dalam arti luas);
  2. Memberdayakan pengusaha kecil menengah dan koperasi agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang usaha seluas-luasnya
  3. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal
  4. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha terutama usaha kecil, menengah dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal;
  5. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah, sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah; dan
  6. Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat.
Sektor Pertanian (dalam arti luas) Dalam Pembangunan Nasional
Pelaksanaan dari amanat tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang tercermin pada sumbangan sektor pertanian pada PDB dan banyaknya masyarakat yang bergantung dan bergerak di sektor pertanian. Selain itu, masih banyaknya sebgaian besar masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan semakin mempertegas dasar kita untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian nasional.

Peranan dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 1996, PDB sektor pertanian, termasuk pula kehutanan dan perikanan, adalah sebesar Rp 63,8 triliun. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 66,4 triliun pada tahun 2000. Besarnya PDB pertanian tersebut memberikan kontribusi sekitar 17 persen terhadap PDB nasional. Bila dibandingkan dengan sektor lain, maka kontribusi PDB pertanian menduduki urutan kedua setelah sektor industri manufaktur. Di samping kontribusi langsung terhadap PDB yang cukup signifikan, sektor pertanian juga telah menunjukkan ketangguhan dalam menjaga stabilitas ekonomi pada masa krisis perekonomian nasional. Ketangguhan sektor ini ditunjukkan oleh kemampuannya untuk tetap tumbuh secara positif pada masa (1998) sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang sangat hebat, yaitu sebesar 13,7 persen.

Dalam penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian berikut sistem agribisnisnya sangat dominan perannya dalam penyerapan tenaga kerja, yang mampu menyerap 45,0 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional, atau menempati urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja.

Apalagi jika kita menyimak struktur ketenagakerjaan pedesaan, maka peran strategis sektor pertanian bahkan lebih tak terbantahkan. Dalam tahun 1997 struktur kesempatan kerja pedesaan secara agregat menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian memegang 58,8 persen dari kesempatan kerja pedesaan, yang secara absolut besarnya 57,5 juta orang. Peran sektor pertanian di luar Jawa juga lebih besar yaitu sebesar 66,9 persen dibandingkan dengan di Jawa yang besarnya 50,65%. Sebaliknya, sektor non-pertanian di Jawa hanya menyumbang 33,1% dan di luar Jawa menyumbang 49,4% kesempatan kerja, yang pada umumnya berupa jasa perdagangan, jasa kemasyarakatan, bangunan, dan jasa pengangkutan. Keadaan ini menunjukkan masih tetap dominannya peran sektor pertanian dalam perekonomian rumah tangga pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dan kegiatan di luar sektor pertanian masih relatif kecil dan sedang bertumbuh, serta tidak bisa dilepaskan keterkaitannya kegiatan di pertanian. Selanjutnya, selama masa kontraksi ekonomi nasional akibat krisis pada tahun 1998, yang secara penyerapan tenaga kerja nasional menurun sebesar 2,13 persen, atau sebesar 6,4 juta orang di semua sektor ekonomi (kecuali listrik), maka sektor agribisnis justru mampu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sebanyak 0,4 juta orang. Fakta empiris ini menunjukkan bahwa sektor agribisnis masih merupakan sektor yang paling tangguh dalam menghadapi krisis dan paling berjasa dalam menampung pengangguran sebagai akibat krisis ekonomi.

Peranan sebagai penghasil devisa. Kontribusi agribisnis dalam total nilai ekspor Indonesia pada tahun 1990 mencapai 43 persen, dan meningkat menjadi sekitar 49 persen pada tahun 1995. Sementara itu impor Indonesia, pangsa impor sektor agribisnis relatif kecil dan cenderung menurun. Pada tahun 1990 pangsa impor sektor agribisnis hanya sekitar 24 persen dan menurun menjadi sekitar 16 persen pada tahun 1995. Selanjutnya, selama masa krisis, ekspor produk pertanian juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 1998 ekspor pertanian tahun 1998 naik sebesar 26,5 persen dibanding. Peningkatan ekspor pertanian selama masa krisis (1991-1998) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata sebelum krisis yakni hanya sebesar 4,5 persen per tahun (1982-1997). Sebaliknya ekspor produk manufaktur turun sebesar 4,2 persen selama tahun 1997-1998. Hampir semua ekspor produk industri berbahan baku impor turun kecuali semen. Namun ekspor produk agroindustri yang berbasis pada sumber daya lokal seperti minyak atsiri, asam lemak, barang anyaman (kecuali minyak sawit) mengalami peningkatan. Meskipun sebagian dari kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya nilai mata uang dolar, namun dengan rendah atau hampir tidak adanya komponen impor di sektor pertanian, maka kenaikan tersebut masih merupakan suatu bukti empiris pembangunan ekonomi dengan menggunakan sektor pertanian sebagai penggerak utama akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha dan peningkatan devisa negara.

Peran sektor pertanian lain yang juga sangat penting adalah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sesuai tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, adalah untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati, agro-klimat), sumber daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di bidang agribisnis. Selain itu, sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar dalam produk domestik regional bruto (PDRB) dan ekspor daerah. Dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar juga disumbang oleh sektor agribisnis. Oleh karena itu, pembangunan agribisnis untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah merupakan pilihan yang paling rasional. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah.

Peranan dalam pelestarian lingkungan hidup. Dewasa ini, keprihatinan akan kemerosotan mutu lingkungan hidup bukan lagi sebatas isu lokal suatu negara melainkan sudah menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Kemerosotan mutu lingkungan hidup saat ini telah sampai pada tingkat yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia tidak hanya di sekitarnya namun juga seluruh manusia di muka bumi. Pembangunan agribisnis mempunyai potensi untuk dapat mencegah dan memperbaiki kemerosotan mutu lingkungan hidup melalui beberapa cara. Pertama, pembangunan agribisnis akan membuka kesempatan-kesempatan ekonomi yang luas di setiap daerah (ruang). Kesempatan ekonomi tersebut akan menarik penyebaran penduduk beserta aktivitasnya, sehingga tekanan penduduk pada suatu ruang tertentu dapat dikurangi; Kedua, pembangunan agribisnis yang pada dasarnya mendayagunakan keragaman hayati, dapat mempertahankan keberadaan keanekaragaman hayati; Ketiga, pembangunan agribisnis yang antara lain mendayagunakan pertumbuhan keragaman tumbuhan, pada dasarnya merupakan “perkebunan karbon” yang efektif dalam mengurangi emisi gas karbon atmosfir yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global; Keempat, pembangunan agribisnis akan menghasilkan produk-produk yang bersfiat biodegradable yang dapat terurai secara alamiah. Produk agribisnis yang biodegradable ini akan dapat mengurangi penggunaan produk-produk petrokimia yang non-biodegradable; dan Kelima, pembangunan agribisnis yang bergerak dari factor-driven ke capital driven dan kemudian kepada innovation-driven dalam menghasilkan nilai tambah dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Meskipun ada sebagian orang yang juga berpendapat bahwa pemanfaatan hutan, pembukaan lahan perkebunan, dan penangkapan hasil laut justru berkompetisi dengan pelestarian lingkungan, namun kemajuan teknologi pertanian saat ini telah dapat menciptakan dan menerapkan berbagai jenis teknologi akrab lingkungan. Berbagai jenis teknologi sistem usahatani akrab lingkungan telah tersedia dan siap untuk diterapkan di lapangan, yaitu: (a) Sistem usahatani berwawasan konservasi tanah yang meliputi pembuatan teras, pengelolaan bahan organik, tanaman lorong (alley cropping), rehabilitasi lahan melalui penutup tanah di mana komoditas pertanian sebagai bagian dari subsistem; (b) Sistem pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah (low input sustainable agriculture), yaitu melalui efisiensi penggunaan pupuk yang mudah hilang (nitrogen) dan pengunaan pupuk hijau; dan (c) Wanatani (agroforestry), yaitu melalui pengendalian erosi, melestarikan keanekaragaman hayati dan mengkonservasi carbon (C)-organik, dan pengembalian unsur-unsur hara secara berimbang.

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4893352573915100228#editor/target=post;postID=386151006588059515;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=33;src=link

Mencermati berbagai manfaat penempatan sektor pertanian sebagai penggerak utama perekonomian merupakan suatu peluang yang sangat besar sekaligus beban atau liabilities. Dengan masih banyaknya masyarakat yang bernaung di bawah sektor pertanian, dengan tingkat pendidikan rata-rata dan produktivitas yang relatif rendah dan skala lahan yang terbatas serta tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi dibanding sektor lain, maka hal ini merupakan tantangan yang sangat besar. Selain itu, pembangunan yang bertumpu pada sumber daya alam saja akan mempunyai tingkat pengembangan yang sangat terbatas dan tidak dapat menciptakan increment sebesar yang dapat diberikan oleh sektor manufaktur dan sektor jasa. Diversifikasi usaha dapat menstabilkan pendapatan dari sektor pertanian yang fluktuatif dan relatif dipengaruhi musim, namun tetap belum dapat menghasilkan lonjakan nilai tambah yang dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara. Pengembangan produk unggulan dan eksotik dapat meningkatkan diferensiasi produk, namun juga belum dapat diharapkan memberikan tembahan pendapatan yang secara nasional signifikan. Dengan kata lain, jika sektor pertanian masih bergerak di tingkat primer (on-farm) semata-mata maka akan sulit untuk dapat dijadikan prime mover pertumbuhan ekonomi nasional. Pertanyaan kemudian adalah, strategi apa yang diterapkan untuk dapat menciptakan lonjakan tambahan pendapatan ekonomi dengan tetap bertumpu pada sektor pertanian. Jawabannya adalah dengan tetap bertumpu pada sektor pertanian namun mengembangkan produk pertanian ke tingkat yang lebih tinggi pada industrial ladder, dikenal sebagai agroindustri.

Beberapa Strategi Pokok
Ketahanan Pangan. Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber utama untuk penyediaan bahan pangan. Dalam meningkatkan ketahanan pangan, tantangan besar saat ini adalah konsumsi masih bertumpu pada beras. Segala upaya selama 57 tahun setelah proklamasi kemerdekaan peningkatan produksi pangan terutama beras masih terus menjadi masalah utama. Meskipun revolusi hijau yang diiringi social engineering di bidang produksi telah berhasil mengejar tingginya pertumbuhan penduduk, namun masih belum dapat mengubah ketergantungan masyarakat terhadap beras. Strategi baru yang dikembangkan adalah menerapkan social engineering terhadap konsumen dengan mencoba mengubah budaya dan perilaku makan beras, menjadi budaya mengkonsumsi pangan yang memenuhi standar gizi. Upaya ini akan lambat, namun perubahan selera dan perilaku manusia memang proses yang bersifat gradual. Dengan demikian, tekanan terhadap beras sebagai satu-satunya atau mayoritas sumber karbohidrat akan makin terkurangi.

Peningkatan pendapatan merupakan salah satu cara untuk memampukan masyarakat mempunyai kemampuan untuk memilih (ability to choose), karena mempunyai pendapatan yang mencukupi memungkinkan mereka untuk memilih jenis makanan yang lebih beragam. Selanjutnya, dengan peningkatan pendapatan maka kemampuan untuk membeli bahan pangan sumber protein dan vitamin seperti daging, ikan, telur, susu, sayur dan buah-buahan akan dapat terpenuhi. Dengan demikian, tekanan permintaan terhadap beras secara lambat laun akan berubah ke non beras, dan secara lambat laun akan berkurang dan berubah ke pola makan yang lebih seimbang sesuai dengan persyaratan gizi. Dengan demikian, tekanan terhadap upaya-upaya peningkatan produksi secara lambat laun berubah dan menyesuaikan dengan perubahan pola konsumsi tersebut. Strategi ini bukan merupakan hal baru, namun selama ini kurang mendapat perhatian yang memadai untuk menandingi promosi konsumsi bahan pangan dari gandum dan terigu yang banyak dilakukan oleh industri berbasis pertanian di luar negeri. Dengan semakin maraknya impor beras dan bahan pangan lain sebagai akibat makin terbukanya pasar global, sementara kita secara hukum belum dapat menghentikan arus perdagangan ilegal, maka strategi pengendalian dari sisi pola konsumsi menjadi semakin penting. Dengan demikian, pertumbuhan kebutuhan beraslah yang diperlambat sambil terus tetap meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri.

Sementara ketahanan pangan merupakan kebutuhan dasar yang dipenuhi hasil dari sektor pertanian untuk dapat menumbuhkan sumber daya manusia dan generasi muda yang dapat melakukan pembangunan berkelanjutan, maka masih ada 3 (tiga) sumber daya alam di sektor pertanian yang potensial untuk dikembangkan secara komersial dan bernilai tambah tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai prime mover perekonomian nasional. Pertama adalah industrialisasi pertanian non-pangan, kedua kehutanan, ketiga adalah perikanan dan kelautan.

Pada saat ini, industrialisasi di bidang pertanian non-pangan masih sangat terbatas. Masalah utama adalah pasokan input dari sektor pertanian primer masih sangat terbatas, baik kualitas dan jumlah pasokan yang masih belum konsisten, kontinyuitas pasokan, serta ketepatan waktu. Dengan kebutuhan dan persyaratan industri semacam itu, sektor pertanian primer masih belum dapat menyelaraskan dengan dinamika industri pengolahan. Diperlukan pembangunan kelembagaan untuk dapat meningkatkan pengelolaan produksi pertanian non-pangan untuk dapat memasuki era industrialisasi. Sementara itu, bidang perkebunan masih perlu dikembangkan idnustri pengolahannya. Dengan masih tetap bergeraknya ekspor produk perkebunan di tingkat primer, sudah mulai mendapatkan persaingan dari negara-negara penghasil produk perkebunan yang baru. Produksi minyak sawit sudah jauh tertinggal oleh Malaysia, sementara produksi minyak mentah sudah disaingi oleh India dan Thailand. Sektor jasa pendukung pertanian misalnya bidang pemasaran dan angkutan juga masih didominasi oleh negara asing, sehingga nilai tambah juga diperoleh negara-negara tersebut. Pengembangan jasa agribisnis masih merupakan bidang yang perlu dikembangkan.

Keunikan dari hutan adalah hutan merupakan penghasil kayu dan penghasil produk/jasa lingkungan sebagai kompetisinya. Artinya, jika hutan dibiarkan akan menjadi produk dan menyediakan jasa lingkungan, dan kalau ditebang akan menghasilkan devisa dari hasil kayu dan hasil hutan lainnya. Dengan demikian, harus disadari bahwa sumber daya hutan mempunyai daya dukung dan pemanfaatan yang terbatas, meskipun merupakan sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resources).

Saya akan mengupas masalah daya dukung yang terbatas terlebih dahulu sebelum membicarakan mengenai pengelolaan hutan sebagai sumber komoditas lingkungan. Alasannya sangat sederhana, karena kesalahan pengelolaan hutan yang kita lakukan selama ini telah mengakibatkan kehancuran hutan. Dari jumlah (stock) hutan sekitar 100 juta hektar yang ada kita mempunyai tingkat deforestasi 1,6 juta hektar per tahun. Dengan tingkat deforestasi semacam itu, dalam 60 tahun kita akan kehabisan hutan secara total. Selain itu, kondisi hutan yang masih tertinggalpun sudah bukan merupakan hutan alam namun sudah merupakan hutan bekas tanaman industri yang ditanami oleh pohon yang tidak bernilai tinggi. Dengan kondisi semacam ini maka produksi kayu dan hasil hutan lainnya sudah tidak dapat dkembangkan lagi. Selain itu, perubahan fungsi hutan ke perkebunan, tanaman lain dan pemukiman juga masih terjadi. Perubahan yang harus dilakukan adalah dengan regulasi yang jelas dan ketat sehingga meningkatkan biaya eksploitasi hutan yang tidak bertanggung-jawab. Regulasi yang diterapkan adalah dengan secara ketat menetapkan zona dan jumlah hutan yang dapat secara ekonomi dieksplorasi kayu dan hasil hutan lainnya. Pemberian hak pengelolaan dilakukan dengan proses seleksi terbuka dan dibuka pasar lisensi hak pengelolaan hutan. Dengan demikian pemerintah akan dapat memperoleh pendapatan yang cukup signifikan dari penjualan lisensi HPH. Tentu saja moral hazard dari pasar lisensi ini dapat terjadi, misalnya dalam bentuk oligopsoni pembeli lisensi, namun dengan pengawasan ketat dan perbaikan pengaturan lambat laun hal ini dapat diatasi. Selanjutnya, selama pengelolaan dilakukan pengawasan yang ketat dan menerapkan standar pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Untuk dapat melakukan pengawasan ini maka sistem data base pengelolaan hutan dan perkembangan kondisinya sangat diperlukan. Hukum di bidang pengelolaan hutan juga perlu diperbarui dan diperjelas hak dan sanksi yang diberikan jika hak disalahgunakan.

Sumber pendapatan yang sangat potensial dan belum dikembangkan secara domestik adalah eksploitasi jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Jasa lingkungan ini dapat digolongkan menjadi jasa lingkungan yang bersifat global dan yang bersifat lokal. Yang bersifat global adalah sifat hutan yang dapat menangkap carbon (carbon sequestration) yang dihasilkan dari berbagai industri, baik yang ada di Indonesia maupun di negara-negara industri maju. Industri-industri di negara maju telah menghasilkan emisi carbon dalam jumlah yang sangat berlebihan sehingga menimbulkan efek rumah kaca (green house effect) yang dapat membahayakan kelangsungan kehidupan di dunia. Akibatnya mereka harus mengurangi emisi carbon dari masing-masing industrinya. Hal ini akan menciptakan pasar bagi perdagangan carbon (carbon trade) antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang yang relatif masih rendah tingkat emisi carbon dari industrinya. Walaupun peluang terjadinya pasar perdagangan carbon masih harus menunggu tercapainya kesepakatan-kesepakatan dari seluruh negara di dunia, tetapi posisi Indonesia sebagai penjual jasa dalam hal carbon sequestration ini akan sangat besar mengingat kemungkinan mengembangkan hutan-hutan tanaman dimasa yang akan datang.

Jasa lingkungan dari hutan yang tidak kalah pentingnya adalah jasa lingkungan yang bersifat lokal (domestik, dalam negeri) yaitu dalam bentuk penyediaan air bagi kepentingan pembangkit listrik dan industri. Namun demikian, kita dapat pula memandang dari sudut yang agak berbeda. Hutan tropis yang ada di Indonesia merupakan aset unik dunia sebagai penyedia jasa lingkungan global yang berada di Indonesia. Demikian pula, hutan sebagai penyedia sumber daya hayati yang ada di dalamnya juga merupakan milik dunia yang berada di Indonesia. Jika Indonesia akan menggunakan jasa lingkungan untuk skala kepentingan domestik Indonesia, maka hutan yang tidak dieksplotasi kayunya akan berjumlah relatif kecil. Namun demikian, sebagai paru-paru dunia dan penyedia sumber daya hayati yang unik, maka Indonesia terpaksa menyisihkan sebgaian besar hutannya untuk tidak ditebang. Penyisihan ini merupakan opportunity loss yaitu sejumlah nilai uang yang seharusnya diperoleh dari eksploitasi tersebut. Dengan demikian, penyisihan hutan untuk ini akan memerlukan cost bagi Indonesia yang harus dikompensasi atau dibeli oleh masyarakat dunia. Selama ini, jasa lingkungan semacam ini sudah dikompensasi dengan menggunakan dana hibah Global Environmental Fund (GEF), namun kita tidak tahu apakah jumlah tersebut cukup nilainya untuk mengkompensasi opportunity loss tersebut. Tanpa adanya perhitungan dan pasar yang transparan, penyisihan hutan untuk paru-paru dunia dan konservasi sumber daya hayatinya dapat merupakan subsidi Indonesia untuk masyarakat dunia. Mekanisme untuk memfasilitasi transaksi inilah yang belum dikembangkan dari kacamata Indonesia.

Selanjutnya, pasar potensial yang perlu dikembangkan adalah untuk memfasilitasi transaksi antara pengguna air dengan pemelihara hutan sebagai penghasil sumber air. Jasa lingkungan ini bersifat lokal namun potensinya cukup besar untuk dikembangkan dan para pelakunya jelas serta mempunyai kemampuan dan kemauan untuk membayar jasa lingkungan yang dihasilkan. Sebagai contoh adalah nilai ekonomi dari air yang dihasilkan oleh adanya konservasi hutan. Pembangkit listrik tenaga air di Cirata dan Saguling, misalnya, mempunyai kapasitas masing-masing sekitar 1000 MW dan 700 MW. Jika pemelihara hutan lalai dalam mengelola daerah aliran sungai (DAS) yang berada di hulu dari kedua PLTA tersebut, akan mengakibatkan kelangkaan air yang masuk ke dalam waduk dan menurunkan produksi sumber daya listrik dari kedua PLTA tersebut. Jika terjadi pengurangan produksi listrik sebesar 10 persen dari kapasitas kedua PLTA tersebut selama sekitar 3 bulan saja, dapat dibayangkan potential loss secara langusng bagi PLN. Nilai kerugian ini akan bertambah besar jika kita menghitung kerugian dialami industri-industri yang harus mengurangi produksinya karena berkurangnya pasokan listrik, dan rumah tangga pengguna listrik. Belum lagi jika kita menghitung kerugian yang akan diderita oleh perusahaan air minum dan konsumennya. Dengan demikian seharusnya kita mulai menyadari bahwa terdapat potential value dari air yang cukup besar yang selama ini kita abaikan karena kita beranggapan bahwa air tidak terbatas jumlahnya dan potential value dari hutan sebagai sumber air tersebut.

Terakhir masalah kelautan. Berbeda dengan sumber daya alam lainnya, laut mengandung resources yang bersifat immobile dan non renewable, serta yang bersifat mobile dan renewable. Sumber daya yang bersifat immobile misalnya adalah pasir dan karang laut. Sedangkan sumber daya yang bersifat mobile dan renewable adalah ikan dan biota lainnya. Kedua jenis sumber daya yang berada di laut ini selama ini belum dikelola secara baik dan optimal. Pemanfaatan sumber daya immobile berupa pasir banyak ditambang oleh penambang asing. Akhir-akhir ini kita sering mendengar dan membaca banyaknya kapal penambang pasir laut yang liar. Sementara kita tidak mengetahui secara persis stock pasir laut yang dapat ditambang secara lestari tanpa mengganggu lingkungan, peraturan mengenai penambang pasir laut tidak diterapkan secara transparan dan belum tentu dilandasi oleh daya dukung sumber daya yang ada. Sementara itu, penghitungan mengenai besar biaya/harga lisensi yang diberikan dan persyaratan apa yang harus dipatuhi para penambang serta pengawasan masih harus disempurnakan. Dengan kurang sempurnanya peraturan tersebut maka rent dan value dari pasir laut yang ditambang tidak dapat diukur secara benar. Dengan demikian, pemanfaatan sumber daya laut secara legal juga belum tentu dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan negara dan masyarakat Indonesia. Belum lagi kalau kita mengetahui berapa besar nilai pasir laut yang ditambang secara illegal serta akibat panambangan pasir laut terhadap lingkungan.

Sementara itu, pemanfaatan sumber daya yang bersifat mobile menghadapi tantangan yang berbeda. Selama ini, pemanfaatan sumber daya perikanan laut oleh nelayan domestik masih terbatas. Pada waktu yang bersamaan, kecepatan eksploitasi oleh nelayan domestik ini dikalahkan oleh nelayan asing baik yang mengeksploitasi secara legal maupun illegal.

Potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia terdiri dari:

  • sumber daya ikan laut,
  • budidaya laut,
  • perikanan darat/air tawar, dan

perikanan budidaya air payau. Potensi lestari (maximum sustainable yield) sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,4 juta ton per tahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton per tahun. Dari seluruh potensi sumber daya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,01 juta ton per tahun atau 80% dari potensi lestari.

Potensi budidaya laut diperkirakan mencapai volume 46,73 juta ton per tahun, tetapi yang baru dimanfaatkan sekitar 0,7 juta ton dengan mengabaikan peningkatan teknologi. Sedangkan, budidaya air tawar memiliki potensi pengembangan yang besar. Dari perairan umum potensinya sebesar 1,04 juta ton, termasuk di dalamnya pengembangan budidaya kolam dan irigasi. Potensi perikanan budidaya air payau (tambak) masih cukup luas dan banyak terdapat di kawasan timur Indonesia. Dengan luas lahan sekitar 913.000 ha yang baru dimanfaatkan sekitar 393.196 ha. Dengan asumsi pengembangan dan yang dimanfaatkan hanya 500.000 ha dan terget produksi 2 ton udang windu per hektar, setiap tahun dihasilkan 1 juta ton. Dari angka-angka tersebut di atas, apabila dijumlahkan maka total potensi sumber daya kelautan dan perikanan mencapai sebesar 7,75 juta ton produksi per tahun (dengan asumsi harga per kilogram hasil ikan tersebut sekitar US$ 10, maka perolehan negara mencapai sekitar US$ 77, 5 miliar).

Selain itu potensi pengembangan bioteknologi kelautan masih sangat besar seperti untuk industri bahan baku makanan, bahan pakan alami, benih ikan dan udang, serta industri bahan pangan. Diperkirakan nilai ekonomi dari potensi bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 miliar. Dengan demikian, nilai ekonomi keseluruhan dari potensi sumber daya kelautan dan perikanan diperkirakan sebesar US$ 81,5 miliar. Disamping itu sumber daya kelautan dan perikanan dapat pula dikembangkan untuk kegiatan wisata bahari.

Dari keseluruhan potensi sumber daya kelautan dan perikanan di atas, yang pada saat ini dapat dimanfaatkan (produksi) baru mencapai 5,3 juta ton (tahun 2001), dengan perincian perikanan tangkap: 3,9 juta ton, perairan umum: 0,3 juta ton, perikanan budidaya (tawar, tambak, karamba, jaring, kolam dan sawah): 1,1 juta ton. Nilai potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang diperkirakan “hilang” akibat kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (I,U,U Fishing) terutama di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI) diperkirakan sebesar US$ 2-4 miliar. Dengan perhitungan-perhitungan di atas, maka nilai ekonomi potensi sumber daya kelautan dan perikanan (di luar bioteknologi) yang masih dapat “diraup” cukup besar, yaitu sekitar US$ 24,5 miliar, ditambah sekitar US$ 2-4 miliar dari penanggulangan IUU.

Untuk dapat memanfaatkan potensi perikanan dan kelautan secara optimal, perlu ditempuh beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan. Pertama adalah mendayagunakan secara optimal potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan dengan melakukan terobosan inovasi teknologi di bidang penangkapan dan budidaya, permodalan, data dan informasi, dan kelembagaan aquabisnis yang kuat. Kedua, meningkatkan pengawasan dan pengendalian penangkapan, melalui penerapan sistem monitoring, controlling dan surveillance (MCS) yang merupakan bagian integral dari rencana pengelolaan perikanan; penataan kembali kelembagaan pengawas; dan sarana pengawasan yang diperlukan. Ketiga, melakukan pembenahan peraturan dalam pemberian izin dan meninjau kembali izin yang telah dikeluarkan, serta pemberian sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang tidak memenuhi ketentuan. Kinerja pembangunan bidang kelautan dan perikanan dalam pelaksanaannya dapat dilihat pula melalui indikator keberhasilan penerimaan devisa dari ekspor hasil kelautan dan perikanan. Pada tahun 2000 devisa yang dihasilkan sebesar US$ 1,74 miliar dengan volume ekspor sebesar 703.155 ton. Kenaikan rata-rata nilainya sebesar 0,72% per tahun dan volumenya naik 4,49% per tahun, pada periode 1994 - 2000. Kontribusi terbesar diperoleh dari ekspor udang (beku, tidak beku, dan kaleng) sebesar 56% dalam nilai dan 17% dalam volume. Sedangkan impor hasil perikanan dalam periode 1994 – 2000 terjadi penurunan sebesar 5,37% Meskipun terjadi penurunan impor hasil perikanan, impor tepung ikan paling banyak memakai devisa yaitu 47,46% dari keseluruhan debvisa yang dikeluarkan untuk impor hasil perikanan. Dari neraca perdagangan hasil perikanan dalam periode 1994 – 2000 terdapat kenaikan sebesar 1,59 % per tahun.

Demikianlah sumbang pikir saya dalam diskusi yang menurut saya sangat penting dalam memberikan arah bagi pembangunan nasional masa depan yang lebih menjamin tercapainya cita-cita bangsa: kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat bangsa Indonesia.

Sebagai penutup perkenankan saya menyampaikan sebuah ungkapan yang merupakan fakta sejarah yang telah terjadi di berbagai belahan bumi ini, yaitu: “Tak ada satu pun negeri yang kini telah menjadi negara industri maju tanpa didahului atau diiringi dengan kemajuan sektor pertaniannya”§

*) Kwik Kian Gie adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tulisan ini pernah disampaikan sebagai makalah dalam Rapat Koordinasi Nasional Partai Golkar bidang Pertanian, Kehutanan dan Kelautan di Jakarta, 2 November 2002-red

Pembangunan Ekonomi Nasional; Sektor Pertanian Rating: 4.5 Diposkan Oleh: frf

0 komentar:

Posting Komentar