Senin, 03 Oktober 2016

STRATEGI INDUSTRIALISASI

STRATEGI INDUSTRIALISASI
Di dalam teori ekonomi, ada dua macam pola strategi yang dapat digunakan dalam melaksanakan suatu proses industrialisasi, yaitu strategi Substitusi Impor/Import Subtitution (SI) yang sering disebut dengan istilah inward-looking strategy atau ”orientasi ke dalam” dan strategi Promosi Ekspor/export promotion (PE) yang sering disebut dengan istilah outwardlooking strategy ”orientasi ke luar” Strategi SI lebih menekankan pada pengembangan industri yang berorientasi pasar domestik, sedangkan PE ke pasar internasional. Strategi SI dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti impor. Sedangkan strategi PE didasari oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa direalisasikan jika produk-produk yang dibuat di dalam negeri dijual di pasar ekspor. Jadi, berbeda dengan strategi SI,dalam strategi PE tidak ada diskriminasi pemberian insentif dan kemudahan lainnya dari pemerintah, baik untuk industri yang berorientasi ke pasar domestik, maupun industri yang berorientasi ke pasar ekspor (Tambunan, 2001).

STRATEGI INDUSTRIALISASI DI INDONESIA 
Sebagai negara berkembang Indonesia telah menerapkan strategi SI sepanjang proses industrialisasinya sampai dengan pertengahan tahun 1980-an, pemerintah menerapkan strategi SI di dalam pengembangan industrinya. Beberapa dasar pertimbangan di dalam memilih penggunaan strategi ini adalah: 
  1. SUmber daya alam dan faktor produksi cukup tersedia di dalam neger
  2. Potensi permintaan di dalam negeri yang memadai 
  3. Mendorong perkembangan sektor industri manufaktur di dalam negeri 
  4. Meningkatkan kesempatan kerja 5. Mengurangi ketergantungan terhadap impor, yang juga berarti mengurangi defisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.
Tambunan (2001) menjelaskan bahwa dalam penerapan strategi SI, impor barang dikurangi atau bahkan dikurangi sama sekali. Pelaksanaan strategi SI terdiri atas dua tahap. Pertama, industri yang dikembangkan adalah industri yang membuat barang-barang konsumsi. Untuk membuat barang-barang tersebut diperlukan barang modal, input perantara, dan bahan baku yang di banyak negara yang menerapkan strategi ini banyak tidak tersedia sehingga harus tetap diimpor. Dalam tahap kedua, industri yang dikembangkan adalah industri hulu (upstream industries)

Pengalaman menunjukkan bahwa tahap pertama ternyata lebih mudah dilakukan. Sedangkan dalam transisi ke tahap berikutnya banyak negara menghadapi kesulitan. Dalam banyak kasus, industri yang dikembangkan menjadi high-cost industries. Ada beberapa penyebabnya, yaitu : 
  • Proses substitusi impor terhadap barang modal dan input perantara cenderung lebih padat modal dibandingkan proses substitusi impor terhadap barang konsumsi. 
  • Proses produksi di industri hulu mengandung skala ekonomis dan sangat sensitif terhadap factor efisiensi di dalam sistem organisasi, penggunaan teknologi dan metode produksI.
Di dalam perkembangan selanjutnya, sektor industri manufaktur ternyata tidak berkembang cukup baik. Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan proteksi yang berlebihan, terutama pada kurun waktu 1970-an sampai awal 1980-an telah mengakibatkan high cost economy (ekonomi biaya tinggi). Hasibuan (1993) mencoba menjelaskan kegagalan penerapan strategi SI di Indonesia. Analisanya adalah sebagai berikut : 
  1. Bahan baku dan tenaga kerja yang tersedia bukan siap pakai. Hal ini dapat menimbulkan external diseconomies. Sumber-sumber ekonomi tersebut belum tentu memiliki kualitas yang baik. Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia masih berpendidikan rendah. Karenanya kualitas tenaga kerja perlu ditingkatkan terlebih dahulu dan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. 
  2. Karena pasar yang dilayani oleh produsen dalam negeri adalah pasar domestic tanpa ada persaingan dari barang-barang impor, maka setiap produk yang dihasilkan tidak dikaitkan dengan kemampuan bersaing di pasar internasional. Tidak heran kalau tingkat daya saing global dari barang produksi Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara maju. 
  3. Tingkat ketergantungan terhadap barang impor ternyata tidak menjadi lebih rendah. Sebagai contoh untuk membuat barang-barang konsumsi memerlukan komponen, spare parts, bahan baku, mesin dan alat-alat produksi yang semuanya masih harus diimpor.
  4. Diharapkan kesempatan kerja akan berkembang dengan luas. Akan tetapi, ini tentu tergantung pada teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Kalau teknologi padat karya yang dipilih, harus diperhatikan jangan sampai mengorbankan tingkat efisiensi, produktivitas dan daya saing. 
  5. Nilai tambah pada umumnya dapat ditingkatkan, tetapi di pihak lain beberapa industri dapat mempunyai nilai tambah yang negatif bila dibandingkan dengan nilai tambah dari industri yang sama di pasar internasional. 
  6. Tingkat proteksi yang tinggi cenderung membentuk sikap angkuh produsen dalam negeri. Struktur pasar didominasi oleh produsen (seller?s market). 
  7. Walaupun potensi permintaan di pasar dalam negeri cukup besar, tetapi masih ada halhal lain yang lebih menentukan apakah potensi tersebut dapat terealisasi, yaitu jenis barang dan jumlah yang diperlukan konsumen dan dapat dibuat di dalam negeri, teknologi yang dipakai, target pemakai dan politik harga yang diterapkan. 
Periode Berkembang (1982-1996) 
Seiring melemahnya harga minyak, kebijakan dari tujuan yang semula hanya untuk pengembangan industri substitusi impor, ditambah misi baru dari pemerintah, yakni pengembangan industri berorientasi ekspor (strategi PE) yang harus didukung oleh usaha pendalaman dan pemantapan struktur industri. Kebijakan ini mulai diterapkan pada industri kimia, logam, kendaraan bermotor, industri mesin listrik/peralatan listrik dan industri alat/mesin pertanian. Di bidang industri padat teknologi dikembangkan penguasaan teknologi di beberapa bidang seperti pesawat terbang, permesinan dan perkapalan.

Keberhasilan strategi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negaranegara di Asia Timur dan Tenggara seperti Korea, Taiwan, Singapura, dan Hongkong, hingga pengalaman dari negara-negara Amerika Latin seprti Brazil, Argentina dan Meksiko. Dari banyak studi mengenai keberhasilan dari negaranegara tersebut, beberapa syarat penting yang diberikan agar penerapan strategi tersebut membawa hasil yang baik adalah sebagai berikut (Tambunan, 2001) : 
  1. Pasar harus menciptakan sinyal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang bersangkutanm baik di pasar output maupun di pasar input
  2. ingkat proteksi impor harus rendah 
  3. Nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan 
  4. Lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan ekspor 
Pada pertengahan 1980-an, pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwa kebijakan proteksi yang sebelumnya diterapkan ternyata lebih banyak merugikan Indonesia. Sehingga mulai dilakukan perubahan strategi secara bertahap dari proteksi ke promosi ekspor, khususnya ekspor nonmigas, termasuk produk-produk manufaktur. Perubahan kebijakan ini didukung oleh sejumlah paket deregulasi. Paket deregulasi pertama dilakukan pada tahun 1982 di sektor keuangan yang dikenal dengan nama Gebrakan Sumarlin I. 

Dalam strategi ini pemerintah menghilangkan sejumlah rintangan nontarif, khususnya pembatasan jumlah impor, dengan tujuan untuk menghilangkan antiexport bias dari strategi sebelumnya. Selain itu pemerintah juga melakukan konversi dari kuota ke proteksi dengan tarif, penurunan tarif proteksi secara bertahap dan memperkenalkan skema pembebasan dan pengembalian pajak bagi perusahaanperusahaan eksportir yang mengekspor paling sedikit 85%dari jumlah output-nya. 

SUMBER;
Industri dan Industrialisasi 478 ROWLAND B. F. PASARIBU

STRATEGI INDUSTRIALISASI Rating: 4.5 Diposkan Oleh: frf

0 komentar:

Posting Komentar