Rabu, 25 Januari 2017

Pengertian Pola tanam tumpangsari

PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Pendekatan pertanian berwawasan lingkungan adalah pendekatan yang dimulai dengan pendekatan ekosistem. Pertanian berwawasan lingkungan didekati dengan prinsip hutantani (agroforestry) atau pertanaman campuran dan perhatian khusu pada pasokan bahan organik sebagai indikator. Pendekatan ekosistem pertanian selanjutnya dikenal sebagai agroekosistem menekankan dua prinsip dasar akibat penerapan teknologi.

Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan agro. Sistem adalah suatu kesatuan himpunan komponen-komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi sehingga di antaranya terjadi proses yang serasi. Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Sedangkan ekosistem adalah sistem yang terdiri dari komponen biotic dan abiotik yang terlibat dalam proses bersama (aliran energi dan siklus nutrisi). Pengertian Agro = Pertanian dapat berarti sebagai kegiatan produksi/industri biologis yang dikelola manusia dengan obyek tanaman dan ternak. Pengertian lain dapat meninjau sebagai lingkungan buatan untuk kegiatan budidaya tanaman dan ternak. Pertanian dapat juga dipandang sebagai pemanenan energi matahari secara langsung atau tidak langsung melalui pertumbuhan tanaman dan ternak (Saragih, 2000). Agroekosistem dapat dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan pertanian.

Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi kerusakan lingkungan akibat penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan pemecahan masalah pertanian spesifik akibat penggunaan masukan teknologi (Sutanto, 2002). Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan, meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan dan menurunnya lahan kritis, desertifikasi, serta menurunnya keanekaragaman. Masalah lingkungan ini sebagai akibat adanya lapar lahan seiring meningkatnya populasi penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan konsumsi masyarakat.

Tujuan pertanian berwawasan lingkungan adalah mengembangkan sistem pertanian yang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan kondisi agroekosistem (Widjajanto dan Sumarsono, 2005). Melalui sistem ini diharapkan terjadi pengembangan sistem pertanian yang sesuai dengan kondisi lingkungan. Sistem pertanian spesifik lokasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanah sesuai kondisi agroekosistem dilandasi masukan teknologi rendah, dan sekaligus memperbaiki keseimbangan ekosistem karena memadukan aspek agronomi dan ekologi.

Komponen Agroekosistem adalah : Petani., Lahan – tanaman, .Ternak. dan Manajemen/teknologi. Pendekatan agroekosistem dalam peternakan adalah pengembangan peternakan dalam keterpaduan wilayah pertanian spesifik. Dengan demikian pendekatan agroekosistem dalam pengelolaan sumberdaya pakan adalah pengelolaan potensi dan pemanfaatannya dalam keterpaduan wilayah pertanian dan pengembangan peternakan. Kepentingan pendekatan agroekosistem adalah : 1) Keterpaduan komponen AES untuk kepentingan ekonomis, 2) Keterpaduan komoditas untuk proses produksi hulu ke hilir 3) Keterpaduan wilayah untuk kelestarian lingkungan hidup / sumberdaya alam.

INTERVENSI TANAMAN PAKAN
Pola Tanam Tumpangsari
Pola tanam tumpangsari adalah suatu pertamanan dua jenis atau lebih tanaman cultivar pada bidang tanah dan waktu yang sama dengan membentuk baris – baris yang teratur untuk tiap jenis tanaman (Thahir, 1985). Pola tanam tumpangsari dapat dengan cara penambahan atau cara penggantian sebagian populasi tanaman utama. Beets (1982) menegaskan bahwa, pola tanam tumpangsari adalah bentuk pertamanan campuran antara jenis – jenis tanaman yang ditanam dalam jarak dan baris – baris yang teratur. Salah satu bentuk pola tanam tumpangsari termasuk juga pertamanan campuran antara tanaman ekonomi dengan tanaman makanan ternak (Humphreys, 1979).

Pertanaman campuran yang termasuk di dalamnya adalah pola tanam tumpangsari. Pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanah, karena meningkatnya jumlah energi radiasi matahari yang mampu ditangkap oleh tajuk tanaman (Soeriatmadja, 1981; Ofori dan Stern, 1987). Menurut Wahua dan Miller (1978), pola tanam tumpangsari sangat populer di kalangan petani skala kecil di daerah tropika dan sub-tropika, karena (1) memberikan imbangan suplai nutrisi, energi dan protein, (2) memaksimumkan keuntungan dan penggunaan sumberdaya lingkungan, (3) sebagai kontrol terhadap tanaman pengganggu, (4) menekan risiko usaha tani, dan (5) mempertahankan kesuburan tanah. Pertanaman campuran juga mempunyai manfaat untuk mencegah erosi (Sitanala, 1983), untuk mencegah kecenderungan peningkatan populasi hama (Sutater, 1981), dan sebagai modifikasi penggunaan pupuk hijau (Rosa et al, 1980; Kang, Wilson dan Sipkens, 1981). Shelton dan Humphreys (1975), Humphreys (1979) dan Helsel dan Wedin (1981) memperoleh manfaat dari pertanaman campuran tanaman pakan dan tanaman pangan untuk meningkatkan penyediaan hijauan pakan dan meningkatkan efisiensi manfaat jerami dari tanaman utama.

Hasil per satuan luas dari masing – masing tanaman dalam tumpangsari pada umumnya lebih rendah dibandingkan hasil dalam monokultur (Donald, 1963 dan Trenbath, 1974). Walaupun demikian seringkali hasil per individu tanaman masing – masing atau salah satu justru meningkat, sehingga masing – masing atau salah satu menjadi lebih tinggi daripada pola tanam monokulturnya. Keadaan ini bisa apabila yang ditumpangsarikan adalah jenis leguminosa dan kesuburan tanahnya rendah (Agboola dan Fayemi, 1972; Ofori dan Stern, 1987).

Pertanian berwawasan lingkungan

Ahmed dan Rao (1982) menunjukkan bahwa, pola tanam tumpangsari tanaman jagung dengan kedelai dapat meningkatkan produktivitas tanah. Nilai NKT tumpangsari jagung dan kedelai adalah 1.64 apabila tanpa pemupukan nitrogen, dan diperoleh 1.42 apabila diberi pemupukan nitrogen sesuai dosis rekomendasi. Hasil ini memperlihatkan bahwa, efisiensi biologis yang diukur dari nilai NKT, pola tanam tumpangsari mempunyai efisiensi 64% dan 42% lebih tinggi daripada monokulturnya.

Francis et al (1982)a menyimpulkan dari tumpangsari jagung dengan kacang jogo (Phaseolus Vulgaris L) bahwa, kepadatan tanaman kacang jogo tidak mempengaruhi hasil biji jagung, sebaliknya kepadatan tanaman jagung menekan hasil biji kacang jogo. Peneliti yang sama juga menyimpulkan bahwa, kompetisi sesama jenis (intra – specific) lebih kuat daripada kompetisi antar jenis (inter – specific). Agustina (1980) yang meneliti pada tanaman yang sama mendapatkan bahwa, apabila tanaman jagung ditanam dengan jarak 120 cm antar baris, maka tanaman kacang jogo yang ditumpangsarikan masih dapat menerima radiasi matahari 80% sampai 97% pada umur 65 hari setelah tanam.

Pola tanam tumpangsari disimpulkan sangat bermanfaat bagi petani skala kecil karena mengalami kesulitan penyediaan pupuk nitrogen (Kang et al, 1981; Ahmed dan Rao, 1982). Pola tanam tumpangsari antara tanaman lamtoro dan jagung juga telah banyak dilaporkan, terutama dimaksudkan untuk memperoleh pupuk nitrogen – organik dari daun lamtoro (Mendoza et al, 1981; Kang et al, 1981; Palled et al, 1983).

Mendoza et al (1981) melaporkan bahwa, pemotongan pertama hijauan lamtoro menghasilkan 59 sampai 74 kg N/ha, penggunaannya sebagai pupuk hijau dalam tumpangsari dengan jagung setara dengan 45 – 90 kg N / ha pupuk buatan. Kang et al (1981) mendapatkan bahwa, pemotongan hijauan lamtoro menghasilkan 180 – 250 kg N/ha/tahun, penggunaannya sebagai pupuk hijau dalam budidaya lorong mampu mempertahankan produksi biji jagung 3.8 ton/ha. Rosa et al (1980) mendapatkan bahwa, tanaman lamtoro yang ditanam diantara baris tanaman jagung dengan jarak tanam 100 cm dengan kepadatan tanaman lamtoro 10, 15, dan 20 cm jarak tanam dalam baris, dari pemotongan hijauan diperoleh berturut – turut 102, 115, dan 126 kg N / ha. Penggunaannya sebagai pupuk hijau diperoleh dari tiga kali pemotongan, hasil yang diperoleh dari biji jagung adalah 70, 73, dan 71 g per individu tanaman. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan tanpa pemupukan yang hanya diperoleh biji jagung 49 g per individu tanaman. Hasil penelitian Sumarsono et al (1985) menunjukan produksi biji jagung tumpangsari lebih tinggi dibanding tunggal yang menerima pupuk N rendah (Tabel 1). Walaupun produksi jagung masih lebih tinggi dengan pemupukan N tinggi (Sumarsono, 1989), tetapi produksi hijauan pakan dari lamtoro dan jerami jagung diperoleh dalam tumpangsari jagung – lamtoro.

Peranan Leguminosa
Suatu pertanaman produktif setiap tahun menguras nitrogen sekurang – kurangnya 200 kg/ha dari tanah (Middleton, 1981). Kasus pada tanaman rumput yang mengandung nitrogen 2 – 3 %, setiap 2 ton bobot kering hijauan memerlukan 50 kg N dari tanah (Ahlgreen, 1956), Menurut Whitehead (1970), rumput – rumputan setiap tahunnya dapat memproduksi nitrogen 180 – 238 kg/ha dalam hijauannya tergantung jenis tanamannya. Pertanaman ini harus dipupuk dengan 326 kg N/ha/tahun, dengan rata – rata pemberian setiap pemanenan 70 kg N, apabila pemanenan dilakukan 4 – 5 kali per tahun. Hasil penelitian Vicente – Chandler, Figarella dan Silva (1961), dilaporkan bahwa rumput pangola yang dipupuk 800 kg N/ha/tahun dengan interval pemotongan 60 hari diperoleh kadar protein kasar hijauan 10.8%.

Pemenuhan kebutuhan nitrogen dapat mengandalakan leguminosa dalam pertanaman. Leguminosa hijauan pakan mampu mengikat nitrogen dari udara antara 100 – 400 kg N/ha/tahun (Henzel dan Vallis, 1975). Varietas baru Leucaena Latisiliqua yang diseleksi di Hawai dan Australia mampu menghasilkan 900 kg N/ha/tahun (Whitney, 1975). Pada lingkungan terkontrol Stylosanthes humilis mampu mencapai hasil 1,5 ton/ha/tahun (Whiteman, 1974). Desmodium intortum banyak digunakan di Hawaii, dibuktikan mampu menghasilkan 400 kg N/ha/tahun (Whitney, Kanehiro dan Skerman, 1967). Tanaman centro mampu mengfiksasi nitrogen minimal 123 – 132 kg N/ha/tahun (Whitney et al, 1967). Hasil tertinggi yang diperoleh peneliti adalah 269 kg N/ha/tahun. Menurut Moore (1960), pada pertanaman campuran centro dengan Cynodon plectostachyus, Centro dapat menyumbangkan 280 kg N/ha/tahun kepada pastura tersebut. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Nutman (Frederick, 1978) didapatkan bahwa Centro mampu memfiksasi nitrogen antara 126 – 395 kg N/ha/tahun dengan rata – rata 259 kg N/ha/tahun. Hasil penelitian Sumarsono (1985) produksi nitrogen lamtoro, Stylo-Cook, dan Stylo-Verano dalam tumpangsari dengan jagung adalah 324,87; 123, 37; dan 499,53 kg/ha.

Transfer Hasil Fiksasi Nitrogen
Dalam pertanaman campuran rumput dan leguminosa, fungsi utama leguminosa adalah sebagai sumber hijauan makanan ternak yang berkualitas tinggi dan hasil fiksasi nitrogen dari udara dapat tersedia bagi rumput yang tumbuh bersamanya (Middleton, 1981). Bukti-bukti telah banyak dilaporkan bahwa tanaman non leguminosa menunjukkan kenaikan kandungan nitrogen apabila ditumbuhkan bersama tanaman leguminosa (Whitney dan Kanehiro, 1967; Whitney dan Green, 1969; Agboola dan Fayemi, 1972). Menurut Virtanen (1963), hasil fiksasi nitrogen oleh tanaman leguminosa sebagian dirembeskan ke media tumbuhnya. Sedangkan menurut Whitney dan Kanehiro (1967), pada leguminosa yang tumbuh merayap, bagian daun yang gugur lebih penting sebagai sumber penambahan nitrogen tanah daripada pencucian bagian tanaman atau lepasnya bintil dan akar akibat tindakan defoliasi. 

Menurut Henzell dan Vallis (1975), cara mempertinggi transfer hasil fiksasi nitrogen adalah menggunakan tanaman leguminosa sebagai pupuk hijau, atau mengembalikan sebagian nitrogen kotoran ternak karena tanaman leguminosa digunakan sebagai hijauan pakan (Whitehead, 1970). Permasalahannya adalah bahwa kebanyakan tanaman biji – bijian yang tumbuh tinggi akan menaungi leguminosa yang tumbuh bersama dibawahnya, akibatnya laju fotosintesis dan kemampuan fiksasi nitrogen juga turun (Lawn dan Brum, 1974; Wahua dan Miller, 1978c ). 

Ternak yang digembalakan pada pastura campuran rumput dan leguminosa mengembalikan sebagian nitrogen dari hijauan yang dimakan ternak melalui kotoran ternaknya (Whitehead, 1970). Disinilah secara teoritis dimungkinkan bahwa nitrogen hasil fiksasi oleh leguminosa dikembalikan ke tanah dan diserap oleh rumput. Sedangkan menurut Whitney dan Kanehiro (1967), tanpa penggembalaan ternak juga terjadi transfer nitrogen dari leguminosa kepada rumput dalam pastura campuran tersebut. Peneliti disini menyimpulkan menyimpulkan bahwa pada Desmodium intortium dan Centro, bagian daun yang gugur lebih penting sebagai sumber transfer nitrogen dibandingkan pencucian bagian hidup tanaman atau lepasnya bintil dan akar akibat defoliasi. Transfer nitrogen umumnya sangat kecil pada awal pertumbuhan leguminosa, selanjutnya sangat tergantung dari frekuensi dan intensitas defoliasi, ada tidaknya hewan dan iklim yang mempengaruhi imbangan antara fiksasi nitrogen dan fotosintesa (Whitehead, 1970).

Sudah lama Vicente – Chandler, Figarella dan Caro-Costas (1953), menyimpulkan adanya hubungan positif antara produksi kudzu tropis (Pueraria phalseloides) dengan kadar protein kasar rumput mollasses (Mellinis minutiflora). Produksi rumput tidak akan tertekan oleh peningkatan produksi leguminosa di dalam pertanaman campuran tersebut, karena peningkatan produksi leguminosa berarti peningkatan hasil fiksasi nitrogen udara (Whitney et al, 1967).

Hasil penelitian Whitney dan Green (1979), rumput pangola (Digitaria decumbens) yang tumbuh bersama Desmodium canum adalah setara dengan pemupukan 240 kg N/ha/tahun, apabila bersama Desmodium intortum setara dengan pemupukan 525 kg N/ha/tahun. Transfer nitrogen disini diperkirakan sebesar 33% pada D. canum, dan 20% pada D. Intortum. Menurut Akinola (1981), transfer nitrogen leguminosa Centro 52% pada pertanaman campuran Centro dengan rumput signal (Brachiaria decumbens).

Menurut hasil penelitian Soedarmadi (1977) di Filipina, juga Sumarsono (1983) leguminosa secara nyata meningkatkan produksi bahan kering dan menekan kadar serat kasar. Centro yang digunakan disini meningkatkan kadar protein kasar, tetapi pada presentase leguminosa Centro 27,41% belum diperoleh peningkatan produksi protein kasar yang nyata.

KESIMPULAN
  1. Pertanian berwawasan lingkungan mengembangkan sistem pertanian yang spesifik lokasi berdasar kondisi agroekosistem penting pada usaha tani lahan kering yang banyak terletak pada daerah berlereng dengan masalah erosi tanah. 
  2. Tindakan manusia terhadap tanah dan tanaman akan menentukan produktivitas tanah sehingga perlu mencegah dan melindungi tanah dari segala bentuk kerusakan, agar dapat diperoleh produksi yang tetap tinggi yang berkelanjtan. 
  3. Pengembangan sistem pertanaman perlu melibatkan sumberdaya tanaman pakan sehingga ternak menjadi sumber tambahan pendapatan, kotoran sebagai pupuk organik dan memanfaatkan limbah tanaman pertanian sebagai pakan. 
  4. Intervensi tanaman pakan dalam sistem pertanaman melalui pengaturan pola tanam tidak menekan hasil tanaman utama dalam sistem tumpangsari dengan melibatkan leguminosa tanaman pakan yang sekaligus berfungsi sebagai penutup tanah. 
  5. Efektivitas transfer hasil fiksasi nitrogen dengan menggunakan tanaman leguminosa sebagai pupuk hijau, atau mengembalikan nitrogen dari kotoran ternak karena tanaman leguminosa digunakan sebagai hijauan pakan bersama jerami tanaman pangan.
DAFTAR PUSTAKA;
  • Agboola, A. A. dan A. A. A. Fayemi, 1972. Fixation and ecretion of nitrogen by tropical legume. Agron. J. 64 (4) : 409-412
  • Ahmed, S. dan N. R. Rao, 1982. Performance of maize soybean intercrop combination in the tropics result of a multi location study. Field Crop Res. 5 : 147-161.
  • Beets, W. C. 1982. Multiple cropping and Tropical Faring System. Grower Pub. Co. Ltd., Aldershot..Donald, C. M. 1963. Competition among crop and pasture plant. Adv. Agron. 15 : 1 – 118..
  • Francis, C. A. , M. Prager and G. Tejada. 1982. Density interactions in tropical intercropping. I. Maize (Zea mays L) and climbing bean (Phaseolus vulgaris L) Field Crops Res. 5 : 163-176.
  • Henzell, E. F. dan I. Vallis. 1975. Transfer of nitrogen between legume and other crops. In A. Ayanaba and P. J. Dart (Ed). Biological Nitrogen Fixation in Farming System of Tropics. IITA. Johm Willey and Son, Ibadan.
  • Humphreys, L. R. 1979. Tropical Pasture and Fodder Crops. ITAS, Longman Group Ltd., London
  • Helsel, Z. R. dan W. F. Wedin. 1981. Harvested dry matter from single and double cropping system. Agron. J. 73 : 895-900.
  • Kang, B. T., G. F. Wilson dan Sipkens. 1981. Alley cropping maize (Zea mays L) and Leucaena (Leucaena leucocephala Lam) in southern Nigeria. IITA, Ibadan.
  • Middleton, C. H. 1981. The role of legume in legume-grass pasture in the wet tropics. Trop. Grassl. 15 (2) : 119-120.
  • Mendoza, R. C., L. R. Escano and E. Q. Javier. 1981. Corn leucaena intercropping trial. Leucaena Res. Report. 2 : 42-44.
  • Ofori, F. dan W. R. Stern. 1987. Cereal-legume intercropping system. Ad. Agron. 41 : 41-89.
  • Saragih, B. 2000. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan Mulia Persada dan PT Surveyor Indonesia, Jakarta.
  • Soeriatmadja, S. 1981. Ilmu Lingkungan. Penerbit ITB, Bamdung.
  • Shelton, H. M. dan L. R. Humphreys. 1979. Undersowing rice (Oriza sativa) with Stylosanthes guyanensis. Expl. Agric. 11 : 89-111.
  • Sitanala, A. 1983. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Faperta IPB, Bogor (tidak dipublikasikan).
  • Sutanto, S. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Pengertian Pola tanam tumpangsari Rating: 4.5 Diposkan Oleh: frf

0 komentar:

Posting Komentar