Senin, 30 Januari 2017

Makalah Pembangunan Industri dan Pertumbuhan Ekonomi Serta Ketenagakerjaan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang sangat kompleks, tidak hanya meliputi ekonomi melainkan juga sosial, politik, budaya dan perubahan teknologi. Tujuan pembanguanan ekonomi setiap negara secara umum adalah untuk meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan seluruh rakyat dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, secara bijaksana.

Pada awalnya, perhatian negara-negara sedang berkembang biasanya lebih tertuju kepada sektor pertanian, karena di negara-negara tersebut umumnya memiliki struktur perekonomian yang bersifat agraris. Di negara sedang berkembang, sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan sumbangan sektor-sektor lainnya terhadap PDB relatif lebih kecil daripada sektor pertanian. Selain ciri tersebut dapat juga dilihat dari struktur penduduknya yang bekerja pada berbagai sektor, yang mana pada umumnya sebagian besar penduduk masih bekerja pada sektor pertanian.

Sejalan dengan gerak maju pembangunan negara sedang berkembang, dewasa ini terdapat suatu pandangan bahwa pembangunan hanya dapat dilaksanakan apabila kegiatan industri dikembangkan. Tanpa mengabaikan banyak faktor lain seperti tersedianya tenaga-tenaga ahli dan pengusaha-pengusaha untuk melaksanakan proyek-proyek industri, tersedianya pasar, dan sebagainya yang akan menjamin perkembangan sektor industri. Terbukti dengan semakin berkurangnya peranan sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, dan sebaliknya peranan sektor industri semakin meningkat terhadap perekonomian nasional.

Ada banyak alasan yang melandasi pentingnya berbagai pengembangan dan pembangunan ekonomi. Salah satu alasan utamanya telah dibuktikan oleh C. Clark yang telah melakukan penelitian dengan mengumpulkan data statistik mengenai presentasi tenaga kerja yang bekrja; di sektor primer (pertanian, kehutanan, pertanian dan pertambangan), sekunder (indutri-industri pengolahan, air dan listrik, dan industri bangunan), dan data tersier (pengangkutan dan perhubungan, pemerintahan, perdagangan dan jasa-jasa perseorangan) di beberapa negara. Data yang dikumpulkannya itu menunjukan bahwa makin tinggi pendapatan per kapita suatu negara, maka makin kecil peranan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja. Akan tetapi sebaliknya, sektor industri makin penting peranannya dalam menampung tenaga kerja (C.Clark dalam Sadono Sukirno, 1985 : 75). 

Munculnya resesi dunia yang terjadi pada tahun 1982 (Periode Pasca boom minyak 1982-1986) menyebabkan harga minyak turun drastis, dan pada gilirannya menyebabkan banyaknya negara pengekspor minyak mengalami kerugian (yang kebanyakan adalah negara berkembang), apalagi pada saat itu sektor perindustrian menjadi tumpuan harapan dalam upaya memacu laju pertumbuhan ekonomi.

Struktur perekonomian Indonesia sejak tahun 1991 telah bergeser dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri pengolahan. Transformasi ini ditandai oleh kecenderungan mengecilnya peranan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan. Meningkatnya permintaan akan produk barang jadi atau setengah jadi baik domestik maupun internasional, telah mendorong peranan sektor industri pengolahan menjadi peringkat pertama pembentukan PDB sejak tahun 1991. 

Pada tahun 1999 peranan sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 26,11%, dan terus meningkat hingga pada tahun 2001 dan 2002 tercatat masing-masing sebesar 26,55% dan 26,64% (Pendapatan Nasional Indonesia, 2002 : 9-10). 

Beberapa faktor penyebab tingkat pertambahan produksi sektor industri lebih cepat daripada tingkat pertambahan dari sektor yang lain adalah (Sadono Sukirno, 1985 : 79) :
1. Sifat Manusia Dalam Kegiatan Konsumsinya
Apabila pendapatan naik, elastisitas permintaan yang diakibatkan oleh perubahan pendapatan (Income elasticity of demand) adalah rendah untuk konsumsi atas bahan-bahan makanan. Sedangkan permintaan terhadap bahan-bahan pakaian, perumahan dan barang-barang konsumsi hasil industri berlaku sebaliknya. Sifat permintaan seperti ini dikenal pula sebagai Engels law (Pada hakekatnya teori ini mengatakan bahwa makin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin sedikit proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli bahan pokok. Akan tetapi sebaliknya, proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli produksi barang-barang industri menjadi bertambah besar).

2. Perubahan Teknologi yang Terus-menerus Berlangsung
Perubahan teknologi yang terjadi dalam proses pembangunan akan menimbulkan perubahan struktur produksi yang bersifat compulsory dan inducive. Kemajuan teknologi akan mempertinggi produktifitas kegiatan-kegiatan ekonomi dan pada giirannya akan memperluas pasar serta kegiatan perdagangan.

Peranan teknologi dalam setiap tumbuh kembangnya suatu negara adalah penting. Rostow dalam Lincolin Arsyad (1999 : 53) menganggap bahwa tahap menuju kedewasaan suatu negara adalah masa dimana masyarakatnya sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksinya.

Disamping mampu memberikan nilai tambah yang tinggi, sektor industri manufaktur juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Pentingnya sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, penyerapan tenaga kerja langsung yang bekerja pada bidang industri itu sendiri. Tahun 2002, sektor industri pengolahan mampu menyerap sebanyak 12.109.997 orang tenaga kerja atau sekitar 13,2%. Aspek kedua adalah sektor industri merupakan sektor yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya, baik melalui keterkaitan ke belakang maupun keterkaitan ke depan. Hal ini membawa konsekuensi pertumbuhan sektor industri akan mampu memacu kebutuhan tenaga kerja di sektor lainnya seperti sektor jasa, sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi.

Untuk Jawa Barat sendiri, pola keterkaitan antar industri manufaktur baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang merupakan fenomena yang harus di analisis lebih lanjut untuk menunjukan kekuatan sektor industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja.

Krisis ekonomi yang dimulai dengan melemahnya mata uang rupiah membawa dampak yang sangat cepat pada sektor industri, dimana industri yang tidak memiliki daya saing kuat banyak yang berguguran. Selama ini industri yang banyak berkembang di Jawa Barat, adalah industri yang banyak menggunakan bahan baku impor. Tentunya aktivitas produksi dari industri ini sangat tergantung terhadap gejolak mata uang rupiah. Jika nilai mata uang rupiah melemah maka harga produk akan meningkat dan jika daerah pemasaran dari produksi ini sebagian besar ditujukan pada pasar domestik maka industri ini akan kesulitan melangsungkan kegiatan produksinya. Banyak industri yang menghentikan aktivitasnya, akan berdampak pada berkurangnya kontribusi terhadap PDRB dan juga munculnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tingginya ketergantungan bahan baku industri nasional terhadap produk bahan baku luar negeri merupakan satu kelemahan tersendiri bagi Jawa Barat. Kondisi ini menandakan industri pendukung yang menghasilkan bahan baku tidak berkembang. Kelemahan lain dari sektor industri dan perdagangan propinsi Jawa Barat adalah rendahnya variasi jenis produk yang diekspor yang sangat didominasi sektor tekstil dan pakaian jadi. Disamping itu rendahnya penguasaan pasar ekspor karena terbatasnya negara yang menjadi tujuan ekspor.

Untuk mengatasi kelemahan struktur industri nasional dan perdagangan, pemerintah propinsi Jawa Barat dalam Rencana Strategisnya dengan salah satu programnya yaitu “Mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh”, berisi kebijakan-kebijakan yang salah satunya tentang Program Pengembangan Industri Manufaktur dan Jasa. Pemerintah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah mencanangkan program penguatan struktur industri nasional dan program pengembangan perdagangan nasional. Kegiatan ini dapat terlihat dari laporan PROPEDA Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2007 yang salah satu programnya adalah sebagai berikut :

Program Penataan dan Penguatan Struktur Keterkaitan Industri 
Dengan tujuan;
  1. Terciptanya industri yang memanfaatkan bahan baku lokal, efisien dan berdaya saing
  2. Meningkatkan keterkaitan usaha industri hulu sampai hilir yang berbasis bahan baku lokal
  3. Menumbuhkan cluster industri manufaktur yang ramah lingkungan
  4. Meningkatkan produk-produk industri manufaktur yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di daerah
Sasaran;
  1. Tersedianya bahan baku lokal yang memenuhi standar bagi industri
  2. Terjaminnya produk yang memenuhi standar dan ekonomis
  3. Terwujudnya industri manufaktur yang berbasis sumber daya lokal serta berdaya saing tinggi
  4. Terisinya mata rantai industri serta terwujudnya keterkaitan yang saling mendukung antar sektor ekonomi lainnya
  5. Berkembangnya produk industri manufaktur unggulan daerah
  6. Berkembangnya kluster-kluster industri manufaktur
  7. Terpenuhinya kebutuhan produk industri lokal maupun regional
  8. Terjalinnya hubungan kelembagaan dan kemitraan usaha antar pelaku industri manufaktur
  9. Terjalinnya kontinuitas produksi industri manufaktu

Berdasarkan hal tersebut di atas, melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian guna penulisan skripsi dengan mengambil judul “Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Dalam Industri Mnaufaktur di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 : Pendekatan Keterkaitan Antar Sektor Menggunakan Model Input Output”.

B. Perumusan Masalah
Melihat latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
  1. Bagaimana keterkaitan ke belakang dan ke depan sektor industri manufaktur dalam hal penyerapan tenaga kerja di Propinsi Jawa Barat tahun 2002 ?
  2. Berapa banyak tenaga kerja yang dapat diserap sektor industri manufaktur di Propinsi Jawa Barat tahun 2002 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang diharapkan dapat dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
  1. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang sektor industri manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja di Propinsi Jawa Barat tahun 2002.
  2. Untuk mengetahui jumlah tenaga kerja yang dapat diserap sektor industri manufaktur di Propinsi Jawa Barat tahun 2002.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu :
1. Praktis
  • Sebagai implikasi kebijakan ekonomi nasional dan regional yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan, khususnya di Propinsi Jawa Barat.
  • Sebagai informasi bagi lembaga-lembaga yang terkait dalam memutuskan kebijaksanaannya.

2. IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)
  • Sebagai bahan informasi dan tambahan kepustakaan bagi peneliti lain yang berkaitan dengan masalah ini.
  • Sebagai penerapan dari teori yang pernah dipelajari, menambah wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan di bidang ketenagakerjaan.
E. Kerangka Pemikiran
Berikut disajikan kerangka pemikiran penelitian
Upaya penguatan struktur industri pada tahap awal dilakukan berdasarkan atas alat kuantitatif dengan menggunakan analisis tabel input output. Analisis input output menunjukan bahwa di dalam perekonomian secara keseluruhan terkandung saling hubungan dan saling ketergantungan industrial (M.L.Jhingan, 1996 : 750). 

BAB II
TELAAH PUSTAKA
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Pengertian pembangunan selama tiga dekade yang lalu adalah kemampuan ekonomi nasional, dimana keadaan ekonomi mula-mula relatif statis selama jangka waktu yang lama. Untuk menaikan dan memprtahankan suatu kenaikan GNP (Gross National Product / produk nasional bruto) antara 5 sampai 7 persen atau lebih per tahun. Pengertian ini bersifat ekonomi.

Namun demikian, pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak Negara Sedang Berkembang (NSB) mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development).. pengertian pembangunan mengalami perubahan karena pengalaman pada tahun 1950-an dan 1960-an itu menunjukan bahwa pembangunan yang berorientasikan pada kenaikan GNP saja tidak memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas sebagian besar masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan GNP per tahun telah tercapai. Dengan kata lain, ada tanda-tanda kesalahan besar dalam mengartikan istilah pembangunan secara sempit. Fakta ini pula yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan.. pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan.

Pembangunan ekonomi meliputi usaha suatu masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan mempertinggi tingkat pendapatan masyarakatnya, sedangkan keseluruhan usaha-usaha pembangunan meliputi juga usaha-usaha pembangunan sosial, politk dan kebudayaan. Dengan adanya batasan diatas maka pembangunan ekonomi pada umumnya di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang. (Sadono Sukirno, 1985 : 13). Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa pembangunan ekonomi mempunyai pengertian :
  1. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus
  2. Usaha untuk menaikan pendapatan per kapita
  3. Kenaikan pendapatan per kapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang
Mudrajad Kuncoro ( 1997 : 14) mengatakan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multidimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi, namun juga mencakup perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, politik, dan kelembagaan.

Dalam Lincolin Arsyad (1999 : 12) para ekonom membedakan pengertian pembangunan ekonomi (economic development) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dimana istilah pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai :
  1. Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yaitu tingkat pertambahan GDP/GNP pada satu tahun tertentu
  2. Perkembangan GDP/GNP yang terjadi dalam suatu negara dibarengi oleh perombakan dan moderenisasi struktur ekonominya (transformasi struktural)
Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP/GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak

Namun demikian, pada umumnya para ekonom memberikan pengertian sama untuk kedua istilah tersebut. Mereka mengartikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi sebagai kenaikan GDP/GNP saja. Dalam penggunaan yang lebih umum istilah pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan untuk menyatakan perkembangan ekonomi di negara-negara maju, sedangkan istilah pembangunan ekonomi menyatakan perkembangan ekonomi di negara sedang berkembang.

Tujuan dan Sasaran Pembangunan
Pada dasarnya kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi selalu ditujukan untuk mempertinggi kesejahteraan dalam arti yangs seluas-luasnya, kegiatan pembangunan ekonomi selalu dipandang sebagai bagian dari keseluruhan usaha pembangunan yang dijalankan oleh suatu masyarakat.

Ferguson dalam Robinson Tarigan (2004 : 4) menyatakan bahwa tujuan utama kebijakan ekonomi adalah :
  1. Menciptakan full employment atau setidak-tidaknya tingkat pengangguran yang rendah menjadi tujuan pokok pemerintahan pusat maupun daerah. Dalam kehidupan masyarakat, pekerjaan bukan saja berfungsi sebagai sumber pendapatan, tetapi sekaligus juga memberikan harga diri/status bagi yang bekerja.
  2. Adanya economic growth (pertumbuhan ekonomi), karena selain menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru, juga diharapkan dapat memperbaiki kehidupan manusia atau peningkatan pendapatan. Tanpa perubahan, manusia merasa jenuh atau bahkan merasa tertinggal.
  3. Terciptanya price stability (stabilitas harga) untuk menciptakan rasa aman/tenteram dalam perasaan masyarakat. Harga yang tidak stabil membuat masyarakat merasa waswas, misalnya apakah harta atau simpanan yang diperoleh dengan kerja keras, nilainya riil atau bermanfaat di kemudian hari. Ada diantara tujuan ekonomi yang tidak mungkin dilakukan daerah (Pemerintah Daerah) apabila daerah itu bekerja sendiri, yaitu menstabilkan harga. Namun, apabila daerah itu dapat memenuhi tujuan pertama dan kedua, hal itu turut membantu pemerintah pusat untuk memenuhi tujuan ketiga. Namun, disisi lain, karena daerah cakupan wilayahnya lebih sempit, dapat membuat kebijakan yang lebih bersifat spasial sehingga ada hal-hal yang dapat dilakukan oleh daerah secara lebih baik ketimbang oleh pemerintah pusat. Hal-hal yang bisa diatur di daerah secara lebih baik, yang merupakan tujuan pokok tambahan yaitu sebagai berikut 
  4. Terjaganya kelestarian lingkungan hidu
  5. Pemerataan pembangunan dalam wilayah
  6. Penetapan sektor unggulan wilayah
  7. Membuat keterkaitan antar sektor yang lebih serasi dalam wilayah, sehingga menjadi bersinergi dan berkesinambungan.
  8. Pemenuhan kebuthan pangan wilayah
Lebih jauh lagi, sebenarnya tujuan adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam ekonomi pembangunan adalah usaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, dimana kehidupan yang lebih baik menurut Goulet pada dasarnya meliputi : kebutuhan hidup, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan kebebasan. Oleh sebab itu sasaran pembangunan yang minimal dan pasti harus ada menurut Todaro adalah (Suryana,2000:6) :

  1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan lingkungan.
  2. Mengangkat taraf hidup termasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan harga diri baik individu maupun nasional.
  3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain, tetapi juga dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.
Untuk mencapai sasaran pembangunan di atas, strategi pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada :

  1. Meningkatkan output nyata/produktivitas yang tinggi yang terus-menerus menigkat. Karena dengan output yang tinggi ini akhirnya akan dapat meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian bahan kebutuhan pokok untuk hidup, termasuk penyediaan perumahan, pendidikan dan kesehatan.
  2. Tingkat penggunaan tenaga kerja yang tinggi dan pengangguran yang rendah yang ditandai dengan tersedianya lapangan kerja yang cukup.
  3. Pengurangan dan pemberantasan ketimpangan
  4. Perubahan sosial, sikap mental, dan tingkah laku masyarakat dan lembaga pemerintah.
Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah
Perencanaan pembangunan yaitu suatu usaha pemerintah untuk mengkoordinasikan semua keputusan ekonomi dalam jangka panjang untuk mempengaruhi secara langsung serta mengendalikan pertumbuhan variabel-variabel ekonomi yang penting (penghasilan, konsumsi, lapangan kerja, investasi, tabungan, ekspor impor, dan lain sebagainya) suatu negara dalam rangka mencapai keputusan pendahuluan mengenai tujuan-tujuan pembangunan ( Suryana, 2000 : 117)

Walaupun tidak ada kesepakatan di antara para ekonom berkenaan dengan istilah perencanaan ekonomi, sebagian besar menganggap perencanaan ekonomi mengandung pengendalian dan pengaturan perekonomian dengan sengaja oleh pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan tertentu di dalam jangka waktu tertentu.

Perencanaan pembangunan ekonomi ini ditandai dengan adanya usaha untuk memenuhi berbagai ciri tertentu serta adanya tujuan yang bersifat pembangunan tertentu. Menurut Lincolin Arsyad (1999 :113-114) ciri-ciri dari suatu perencanaan pembangunan ekonomi adalah :

  1. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi yang mantap (steady social economic growth). Hal ini dicerminkan dalam usaha pertumbuhan ekonomi yang positi
  2. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan pendapatan per kapita
  3. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi. Hal ini seringkali disebut sebagai usaha diversifikasi ekonomi
  4. Usaha perluasan kesempatan kerja
  5. Usaha pemerataan pembangunan sering disebut sebagai distributive justice
  6. Usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang lebih menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan
  7. Usaha secara terus-menerus menjaga stabilitas ekonomi
Adapun fungsi-fungsi perencanaan terdiri dari :

  1. Dengan perencanaan diharapkan terdapatnya suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan
  2. Dengan perencanaan dapat dilakukan suatu perkiraan potensi-potensi, prospek-prospek perkembangan, hambatan serta resiko yang mungkin dihadapi pada masa yang akan datang
  3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk mengadakan pilihan yang terbaik
  4. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas dari segi pentingnya tujuan
  5. Perencanaan sebagai alat untuk mengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan evaluasi
Sedangkan dari sudut pandang ekonomi alasan perlunya perencanaan adalah :

  1. Agar penggunaan alokasi sumber-sumber pembangunan yang terbatas bisa lebih efisien dan efektif sehingga dapat dihindari adanya pemborosan-pemborosan
  2. Agar perkembangan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi menjadi lebih mantap. Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang teliti mengenai penggunaan sumberdaya publik dan sektor swasta (petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi-organisasi sosial) harus mempunyai peran dalam proses perncanaan. Melalui perencanaan pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah dilihat secara keseluruhan sebagai suatu unit ekonomi yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain.
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang teredia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya swasta secara bertanggungjawab.

Perlunya perencanaan (yang dalam hal ini dilakukan lewat campur tangan pemerintah) untuk pembangunan daerah-daerah mempunyai manfaat yang sangat tinggi, disamping mencegah jurang kemakmuran antar daerah, melestarikan kebudayaan setempat, dapat juga menghindarkan perasaan tidak puas masyarakat. Kalau masyarakat sudah tenteram, dapat membantu terciptanya kesatabilan dalam masyarakat terutama kestabilan politik, padahal kestabilan dalam masyarakat merupakan syarat mutlak jika suatu negara hendak mengadakan pembangunan secara mantap (lincolin Arsyad, 1999 : 307)

Agar perencanaan berhasil dengan baik maka menurut M.L Jhingan dalam Suryana (2000 :118) ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Komisi Perencanaan
Komisi perencanaan harus dibentuk dan diorganisir dengan tepat serta harus memuat bagian-bagian yang berkaitan dengan aspek-aspek perekonomian, seperti ahli ekonomi, ahli statistik, insinyur, dan sebagainya.

2. Data Statistik
Data statistik yang akurat sangat membantu dalam merumuskan suatu rencana. Oleh karena itu survei menyeluruh terhadap sumber-sumber ekonomi potensial beserta segala kekurangannya adalah sangat penting. Misalnya data tentang sumber alam potensial, output pertanian, dan industri, tenaga teknis adalah sangat penting untuk menentukan target dan prioritas dalam perencanaan.

3. Tujuan Rencana
Perencanaan hendaknya memuat tujuan spesifik apakah tujuannya untuk meningkatkan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita, memperluas kesempatan kerja, mengurangi ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan serta pemerataan ekonomi, menaikan produksi pertanian, industrialisasi perekonomian, mencapai pembangunan berimbang di berbagai daerah, atau mencapai swasembada, dan sebagainya.

4. Penetapan Sasaran dan Prioritas
Penetapan sasaran dan prioritas baik secara global maupun secara sektoral adalah hal yang sangat penting. Sasaran global harus tegas dan mencakup setiap aspek perekonomian dan harus meliputi sasaran produksi kualitatif, yaitu sekian juta ton x, sekian km y, sekian lembaga z, sekian banyak kenaikan pendapatan nasional, tabungan dan investasi. Baik sasaran global maupun sasaran sektoral harus serasi satu sama lain dan ini memerlukan prioritas. Prioritas harus ditentkan atas dasar kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.

5. Mobilitas Sumber-sumber
Rencana pembangunan harus memuat kebijaksanaan untuk memobilisasi sumber-sumber, baik secara eksternalmaupun secara internal. Sumber internal negara meliputi tabungan dan tabungan perusahaan negara, perpajakan serta keuangan defisit. Sdangkan sumber eksternal meliputi penerimaan anggaran belanja neto dan pinjaman eksternal.

6. Keseimbangan Rencana
Yaitu keseimbangan antara tabungan dan investasi, keseimbangan antara kebuthan tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja, serta keseimbangan permintaan atas barang-barang impor dan devisa yang tersedia. Jika tidak, maka akan muncul kelangkaan atau surplus pada waktu rencana sedang berjalan. Ketidakseibamngan keuangan akan mengakibatkan ketidakseimbangan pada penawaran dan permintaan barang-barang fisik yang karenanya mengakibatkan tekanan inflator dan kesulitan neraca pembayaran selama perencaan berlangsung.

7. Administrasi yang Efisien dan Tidak Korup
Menurut Lewis pembangunan ekonomi tidak sangat sulit. Rahasia pembangunan lebih banyak terletak pada politik yang bijaksana dan administrasi negara yang baik. Pada setiap departemen harus ditunjuk berbagai staf administrasi yang cakap dengan tugas utama menyiapkan laporan kelayakan yang baik mengenai proyek yang diusulkan.

8. Kebijaksanaan Pembangunan yang Tepat
Unsur-unsur utama kebujaksanaan pembangunan yang tepat menurut profesor Lewis meliputi (Suryana, 2000 : 118)

  1. Penyelidikan potensi pembangunan; meliputi sumber nasional, penelitian ilmiah, dan penelitian pasar.
  2. Penyediaan prasarana secara memadai (meliputi air, tenaga angkutan, dan perhubungan).
  3. Penyediaan fasilitas latihan dan pendidikan umum untuk menjamin keterampilan yang diperlukan.
  4. Bantuan untuk menciptakan pasar yang lebih banyak, dan lebih baik
  5. Perbaikan landasan hukum bagi kegiatan ekonomi khususnya peraturan yang berkaitan dengan hak atas tanah, perusahaan dan transaksi dagang.
  6. Menentukan dan membantu pengusaha yang potensial baik dalam maupun luar negeri.
  7. Peningkatan penempatan sumber-sumber yang lebih baik, baik swasta maupun negara.
9. Harus mempunyai Teori Konsumsi Tersendiri
Menurut Jhingan, negara-negara terbelakang tidak harus meniru pola konsumsi negara maju. Pola konsumsi harus demokratis, dan prhatian pertama harus diberikan kepada barang-barang yang terjangkau oleh pendapatan masyarakat tertentu.

10. Dukungan Masyarakat
Dukungan dan partisipasi dari masyarakat merupakan faktor penting bagi perncanaan nasional. Seperti yang pernah diungkapkan Lewis bahwa semangat rakyat adalah pelumas perencanaan sekaligus bahan bakar pembangunan ekonomi, serta merupakan kekuatan dinamis yang memungkinkan segalanya.

D. Peranan sektor Industri Dalam Pembangunan ekonomi
Konsep pembangunan seringkali dikaitkan dengan proses industrialisasi, oleh karena seringkali pengertiannya dianggap “sama”. Negara maju yang pertama kali adalah Inggris. Revolusi industri, seringkali inovasi yang menghemat biaya mesin uap, memungkinkan inggris untuk meningkatkan produksi industrialisasinya sebesar 400% selama paruh pertama abad ke 19. Sejak saat itu sampai dengan sekarang kriteria utama dari pembangunan adalah kenaikan pendapatan per kapita yang sebagian besar disebabkan oleh adanya industrialisasi.

Pembangunan industri merupakan suatu fungsi dari tujuan pokok kesejahteraan rakyat, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan kemampuannya memanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hal ini berarti pula sebagai suatu usaha untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja manusia disertai usaha untuk meluaskan ruang lingkup kegiatan manusia.

Kita telah sering medengar pendapat bahwa industri mempunyai peranan sebagai sektor pemimpin (leading sector). Leading sector ini maksudnya adalah dengan adanya pembangunan industri maka akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya seperti sektor pertanian dan sektor jasa. Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku bagi industri. Sektor jasa pun berkembang dengan adanya industrialisasi tersebut, misalnya berdiri lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga pemasarn, dan sebagainya, yang kesemuanya itu nantinya akan mendukung lajunya pertumbuhan industri (Lincolin Arsyd, 1999 : 354).

Ada beberapa hal yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan industri yang lebih cepat daripada tingkat pertambahan produksi nasional (sadono Sukirno, 1985 : 79), yaitu :
Pertama, sifat manusia dalam kegiatan konsumsinya, yaitu apabila pendapatan naik, elastisitas permintaan yang diakibatkan oleh perubahan pendapatan adalah rendah untuk konsumsi bahan makanan, sedangkan permintaan terhadap bahan-bahan pakaian, perumahan dan barang-barang konsumsi hasil industri keadaannya adalah sebaliknya. Kondisi ini dikenal juga dengan hukum Engels (engles law) yang pada hakikatnya mengatakan bahwa makin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan makin sedikit proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli bahan pertanian. Akan tetapi sebaliknya, proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli produksi barang-barang industri menjadi bertambah besar.

Kedua, perubahan teknologi yang terus-menerus berlangsung. Kemajuan teknologi akan mempertinggi produktivitas kegiatan-kegiatan ekonomi dan hal ini selanjutnya akan memperluas pasar serta kegiatan perdagangan.

Namun demikian, meskipun sektor industri dianggap sebagai leadng sector atau ada pula yang menganggapnya sebagai “obat mujarab” (panacea) untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, tetap saja tidak bisa mengabaikan sektor-sektor lainnya di luar sektor industri. Tidak ada satupun faktor produksi, atau kebijaksanaan, atau sektor, atau penekanan yang bisa menyelesaikan secara sendiri-sendiri perubahan-prubahan dalam pembangunan. Masing-masing mebutuhkan yang lainnya, dan akan gagal jika pertumbuhan tidak seimbang serta terlalu jauh. Pertanian dan inustri saling menyediakan pasar bagi barang-barang produksinya masing-masing.

Jika suatu negara meginginkan untuk memproduksi sendiri barang-barang kebutuhan pokoknya, maka negara tersebut harus membangun suatu struktur industri yang terpadu dan sektor pertanian yang produktif (Lincolin arsyad, 1999 : 365). Dengan kata lain, kelancaran program industrialisasi sebetulnya tergantung pula pada perbaiakn-perbaiakn di sektor lain, dan seberapa jauh perbaikan-perbaiakn yang dilakukan mampu mengerahkan dan bertindak sebagai pendorong bagi kemunculan industri-industri baru. Dengan cara demikian kebijaksanaan yang ditempuh akan dapat menunjukan mekanisme saling mendukung antarsektor.

E. Klasifikasi Industri
Perusahaan industri manufaktur dikalisfikasikan berdasarkan beberapa tinjauan. Perusahaan industri pengolahan diklasifikasikan juga menurut produksi utama yang dihasilkan dalam satu tahun berdasarkan kepada Internasional Standard Industrial Classification of All Activities (ISIC), yang selanjutnya disesuaikan dengan keadaan di Indonesia dengan nama Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Berikut ini adalah tabel pengklasifikasian berdasarkan ISIC 

Industri makanan, minuman, dan tembakau
Industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit
Industri kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk perabot rumah tangga
Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan, dan penerbitan
Industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet, dan plastik
Industri barang galian bukan logam, kecuali minyak bumi, dan batu bara
Industri logam dasar
Industri barang dari logam, mesin, dan peralatannya
Industri pengolahan lainnya 

F. Analisis Keterkaitan Antarsektor
Ada berbagai teori dan studi empiris yang menjelaskan bagaiana keterkaitan antarsektor mempengaruhi perekonomian suatu negara. Pola perkembangan industri, dimana diikuti oleh barang-barang yang diproduksi untuk industri-industri menunjukan bahwa keterkaitan (lingkages) di dalam industri sendiri maupun dengan sektor lainnya, perlu untuk dikembangkan.

Bacward lingkages (kaitan ke belakang) dan forwarad lingkages (kaitan ke depan) adalah alat analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor-sektor lain dalam perekonomian.

Mudrajad kuncoro ( 1997 : 337) mengungkapkan bahwa kaitan ke belakang merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor-sektor lain yang menyumbang input kepadanya. Kaitan ke depan merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan antara suatu sektor yang menghasilkan output, untuk digunakan sebagai input bagi sektor-sektor lain.

Keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan, sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan, baik di pusat maupun di daerah. Pengaruh peningkatan suatu sektor akan terlihat pada sektor-sektor yang menyediakan bahan baku sebagai inputnya. Seberapa besar dampaknya terhadap sektor-sektor yang menyediakan tadi disebut sebagai keterkaitan ke belakang. Misalnya, industri pemintalan benang yang dikembangkan di suatu daerah akan mendorong meningkatnya produksi kapas, sehingga pertanian kapas perlu pula menjadi perhatian pemerintah. Hal tersebut karena produksi kapas akan mensupply industri pemintalan benang yang akan digunakan sebagai bahan baku atas input. Sebaliknya keterkaitan ke depan, merupakan dorongan oleh suatu sektor terhadap penggunaan outputnya oleh sektor lain. Industri pemintalan benang yang diprioritaskan di atas, akan mendorong pertumbuhan sektor industri tekstil, karena benang akan digunakan/diminta (demand) oleh industri tekstil. Bertambahnya permintaan benang oleh industri tekstil tersebut ditunjukan dalam bentuk rasio. 

G. Ketenagakerjaan
Krisis multi dimensi yang diawali dengan terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada bulan Juli 1997 telah merambah ke seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Di bidang ketenagakerjaan, penduduk usia kerja semakin sulit memperoleh kesempatan kerja karena terjadinya resesi ekonomi sehingga lapangan pekerjaan yang teredia sangat terbatas. Akibatnya cukup serius, tingkat pengangguran diperkirakan akan terus meningkat, yang pada gilirannya dikhawatirkan berdampak pada meningkatnya kerawanan sosial di masyarakat, seperti meningkatnya tingkat kemiskinan, kriminalitas, dan yang lebih mengerikan lagi berdampak pada hilangnya generasi baru yang berkualitas (lost generation) akibat rendahnya kualitas gizi penduduk karena tak mampu memenuhi standar hidup layak.

Daya serap setiap kegiatan terhadap tenaga kerja berbeda secara sektoral dan menurut penggunaan teknologi. Sektor kegiatan yang dibangun dengan cara padat karya pada dasarnya dapat menciptakan kesempatan kerja yang relatif besar dan tidak terlalu mengikat pada persyaratan keterampilan yang tinggi. Sebaliknya sektor atau subsektor yang dibangun dengan cara padat modal, menimbulkan kesempatan kerja yang relatif sedikit tetapi dengan tenaga yang memiliki keterampilan tinggi. Perkiraan daya serap tenaga kerja tiap sektor dan subsektor ekonomi, serta persyaratan kualifikasi yang diperlukan sangat penting dalam memperkirakan kesempatan kerja (Payaman J. Simanjuntak, 1985 : 128).

Untuk keperluan analisis ketenagakerjaan, secara garis besar penduduk negara dibedakan menjadi dua golongan yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagai tenaga kerja ialah penduduk yang berumur didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun, tanpa batas umur maksimum. Jadi, setiap orang atau semua penduduk yang sudah berusia 10 tahun tergolong sebagai tenaga kerja. India menggunakan rentang usia 14 sampai 60 tahun sebagai batas usia kerja. Di Amerika batas minimum usia kerja adalah 16 tahun, juga tanpa batas maksimum. Batas usia versi Bank Dunia adalah antara 15 hingga 64 tahun (Dumairy, 1997 : 74).

Konsep dan Definisi Ketenagakerjaan
Tenaga kerja (manpower) dikelompokan menjadi angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja (bukan termasuk angkatan kerja) ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan, yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah (pelajar, mahasiswa), mengurus rumah tangga (ibu-ibu yang bukan wanita karir), serta penerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan, penderita cacat yang dependen).

Selanjutnya, angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan penganggur. Yang dimaksud dengan pekerja ialah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang yang mempunyai pekrjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja. Yang terakhir ini misalnya petani yang sedang menanti panen atau wanita karir yang tengah menjalani cuti melahirkan. Biro Pusat Statistik mendefinisikan bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memproleh upah atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara kontinyu dalam seminggu yang lalu (seminggu sebelum pencacahan). Termasuk dalam batasan ini pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan penganggur ialah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari pekerjaan. Penganggur semacam ini oleh BPS dinyatakan sebagai penganggur terbuka.

Tenaga kerja yang bukan angkatan kerja dibedakan menjadi tiga subkelompok yaitu penduduk dalam usia kerja yang sedang bersekolah, mengurus rumah tangga (tanpa mendapatkan upah), serta penerima pendapatan lain. Batasan BPS mengenai bersekolah ialah bersekolah formal dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, termasuk pelajar dan mahasiswa yang sedang libur.

H. Hasil penelitian yang Relevan

  1. Badan Perencana Daerah Propinsi Jawa Barat. Studi Analisis Struktur Industri dan Perdagangan Jawa Barat. 2002.Bandung. Hasil : dengan menggunakan 3 pendekatan yaitu struktur sektor indusri (dengan alat analisis yang digunakan adalah indeks keterkaitan ke belakang, indeks keterkaitan ke depan dan konsentrasi industri), analisis perilaku (alat analisis yang digunakan yaitu berupa efek multiflier output dan efek multiflier pendapatan), kinerja sektor industri (dengan alat analisis yang digunakan adlah derajat ketergantungan ekspor, kontribusi terhadap nilai tambah, dan penggunaan bahan baku impor), diperoleh gambaran tentang peta potensi industri dan perdagangan di Jawa Barat yang didominasi oleh industri makanan dan minuman, industri barang-barang dari plastik, serta indutri tekstil dan pakaian jadi.
  2. Mudrajad Kuncoro. Analisis Struktur, perilaku dan kinerja Agroindustri Indonesia. 1995. Yogyakarta. Hasil : dilihat dari keterkaitan ke belakangnya untuk tahun 1980, 1985, dan 1990, ternyata ada empat industri pengolahan yang selalu menempati sepuluh besar dalam subsektor yang kaitan ke belakangnya cukup tinggi, yaitu : industri tekstil, industri barang karet dan plastik, industri tepung, dan industri kertas. Sementara itu, hanya ada satu industri penyedia input pertanian yang selalu memesuki jajaran sepuluh besar, yaitu barang dari logam.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini akan dianalisis mengenai penyerapan tenaga kerja dilihat dari keterkaian ke belakang dan ke depan sektor industri manufaktur di Propinsi Jawa Barat tahun 2002. 

B. Sumber Data
Data yang dugunakan adalah data sekunder yang merupakan hasil kinerja dari perekonomian Jawa Barat selama beberapa tahun yang antara lain meliputi :

  • Data input output Propinsi Jawa Barat tahun 2000
  • Statistik industri besar sedang Jawa Barat 2002
Data tersebut diperoleh dari terbitan atau publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Barat.

C. Definisi Operasional Variabel

  1. Menurut Profesor J.R. Hicks dalam M.L. Jhingan (1998 : 750) input adalah “Sesuatu yang dibeli untuk perusahaan”.
  2. Masih menurut Profesor J.R. Hicks dalam M.L Jhingan (1998 :750) output adalah “sesuatu yang dijual oleh perusahaan”.
  3. Keterkaitan ke belakang dalam hal penyerapan tenaga kerja merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor lain yang menyumbangkan input tenaga kerja kepadanya.
  4. Keterkaitan ke depan dalam hal penyerapan tenaga kerja menggambarkan penyerapan output tenaga kerja suatu sektor yang akan digunakan atau diproses kembali oleh sektor ekonomi lainnya.
  5. Penyediaan tenaga kerja merupakan jumlah orang yang bersedia dan mampu untuk melakukan pekerjaan dengan tidak memperhatikan faktor upah (Soeroto, 1991 :90)
  6. Kebutuhan tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah produk dalam satu satuan waktu tertentu dengan tidak memperhatikan faktor upah (Soeroto, 1991 : 90)
Metode Analisis Data
1. Analisis Input-Output
a. Definisi Input-Output
Tabel input-Output (Tabel I-O) beserta analisisnya, pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Wassily Leontif pada akhir dekade 1930-an tetapi baru banyak dikenal pada tahun 1951. Atas hasil karyanya tersebut, ia memenagkan hadiah Nobel di bidang ilmu Ekonomi pada tahun 1973 (Robinson Tarigan, 2004 : 93)

Tabel I-O pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor yang lainnya, dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Dengan menggunakan tabel I-O dapat dilihat bagaimana output dari suatu sektor ekonomi didistribusikan ke sektor-sektor lainnya dan bagaimana pula suatu sektor memperoleh input yang diperlukan dari sektor-sektor lainnya (Tabel Input-Output Jawa Barat, 2000 : 3)

Sebagai suatu metode kuantitatif, tabel I-O memberikan gambaran menyeluruh tentang 

  1. Struktur perekonomian negara/wilayah yang mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor.
  2. Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektor-sektor produksi.
  3. Struktur penyediaan barang dan jasa baik berupa produksi dalam negeri (produksi Jawa Barat) maupun barang impor atau yang berasal dari propinsi lain.
  4. Struktur permintaan barang dan jasa baik permintaan oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor (Tabel Input-Output Jawa Barat, 2000 : 4)
Tabel I-O beserta analisisnya adalah alat yang ampuh untuk manganalisis perekonomian wilayah dan sangat berguna dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah. Analisis input-output menunjukan bahwa di dalam perekonomian secara keseluruhan terkandung saling hubungan dan saling ketergantungan industrial. Input suatu industri merupakan output industri lainnya dan sebaliknya, sehingga akhirnya saling hubungan antar keduanya membawa ke arah ekuilibrium antara penawaran dan permintaan di dalam perekonomian secara keseluruhan (M.L.Jhingan, 1996 : 750). Dengan demikian, apabila terjadi perubahan tingkat produksi sektor tertentu, dampaknya terhadap sektor lain dapat dilihat.

Dalam suatu model input-output yang bersifat terbuka dan statis, transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan tabel Input-Output harus memenuhi tiga asumsi atau prinsip dasar, yaitu (Tabel Input-Output Jawa Barat, 2000 :3) :

  1. Keseragaman (homogeneity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output (barang dan jasa) dengan struktur input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi otomatis antar output dari sektor yang berbeda.
  2. Kesebandingan (proportionality), yaitu asumsi bahwa kenaikan penggunaan input suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan.
  3. Penjumlahan (additivity), yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari pengaruh pada masing-masing sektor.
Kuadran I terdiri atas transaksi antarsektor/kegiatan, yaitu arus barang/jasa yang dihasilkan oleh suatu sektor untuk digunakan oleh sektor lain (termasuk sektor itu sendiri), baik sebagai bahan baku maupun sebagai bahan penolong. Artinya, barang dan jasa itu dibeli untuk kebutuhan proses produksi yang hasil akhirnya akan dijual kembali pada putaran berikutnya. Matriks yang ada dalam kuadran I merupakan sistem produksi dan bersifat endogen, sedangkan matriks yang berada di luar Kuadran I (Kuadran II, III, dan IV) bersifat eksogen. Endogen artinya tidak mampu berubah karena pengaruh dari dalam diri sendiri, perubahan hanya terjadi karena pengaruh dari luar.

Kuadaran II terdiri atas permintaan akhir, yaitu barang dan jasa yang dibeli oleh masyarakat untuk dikonsumsi (habis terpakai) dan untuk investasi. Termasuk permintaan akhir ini adalah barang/jasa yang dibeli oleh masyarakat umum, dibeli oleh pemerintah, digunakan untuk investasi, diekspor ke luar negeri/ke luar wilayah, dan tidak lagi berada di dalam negeri/wilayah karena habis terpakai.

Kuadran III berisikan input primer, yaitu semua daya dan dana yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk tetapi diluar kategori input antara. Termasuk dalam kategori ini adalah tenaga kerja, modal, peralatan, bangunan, dan tanah. Sumbangan masing-masing pihak dihitung sesuai dengan balas jasa yang diterimanya karena keikutsertaannya dalam proses produksi. Misalnya, tenaga kerja mendapat upah/gaji, keahlian mendapat tunjangan/bonus, modal mendapat bunga atau laba, peralatan/bangunan/tanah mendapat sewa atau etrgabung dalam laba. Apa yang tertera dalam Kuadran III adalah balas jasa bagi faktor-faktor produksi dan karenanya merupakan pendapatan yang menggambarkan kemakmuran masyarakat di wilayah tersebut seandainya seluruh faktor produksi dimiliki oleh masyarakat setenpat. Jumlah keseluruhan balas jasa tersebut adalah sama dengan nilai tambah bruto wilayah tersebut.

Kuadran IV menggambarkan bagaimana balas jasa yang diterima input primer didistribusikan ke dalam permintaan akhir. Karena tidak dibutuhkan dalam analisis input-output sedangkan pengumpulan datanya memerlukan survei yang rumit, kuadran ini seringkali diabaikan di dalam tabel input-output.

AX + F = X + M atau (I-A)X = F-M atau X=(I-A)-1(F-M) (2.7)

Dimana :
X = output
I = matriks identitas
A = matriks koefisien input antara
F = permintaan akhir
M = impor 
Apabila dibedakan asalnya (dari luar negeri atau dari luar propinsi), maka akan terbentuk persamaan matriks koefisien input domestik yang dinotasikan dengan Ad. Jika Ad disubstitusikan ke persamaan (2.7), maka :
X = (I-Ad)-1 Fd (2.8)
Dimana : Fd = permintaan akhir untuk produk domestik

Untuk menganalisis kegiatan domestik, maka variabel impor dianggap sebagai variabel luar, dan selanjutnya persamaan (2.8) digunakan sebagai kerangka dasar membuat model input-output domestik.

c. Manfaat Analisis Input-Output
Menurut Robinson Tarigan (2004 : 97) ada beberapa manfaat dari analisis Input-Output, yaitu :

  1. Menggambarkan kaitan antarsektor sehingga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah. Dapat dilihat bahwa perekonmian wilayah bukan lagi sebagai kumpulan sektor-sektor, melainkan merupakan suatu sistem yang saling berhubungan. Perubahan pada salah satu sektor akan langsung mempengaruhi keseluruhan sektor walaupun perubahan itu akan terjadi secara bertahap.
  2. Dapat digunakan untuk mengetahui daya menarik (backward lingkage) dan daya mendorong (forward lingkage) dari setiap sektor sehingga mudah menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagi sektor strategis dalam perencaan pembangunan perekonomian wilayah.Dapat meramalkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat kemakmuran, seandainya permintaan akhir dari beberapa sektor diketahui akan meningkat. Hal ini dapat dianalisis melalui kenaikan input antara dan kenaikan input primer yang merupakan nilai tambash (kemakmuran).
  3. Sebagai salah satu alat analisis yang penting dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah karena bisa melihat permasalahan secara komprehensif
  4. Dapat digunakan sebagai bahan untuk menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah, seandainya inputnya dinyatakan dalam bentuk tenaga kerja atau modal.
2. Analisis keterkaitan Sektor Industri Manufaktur
Dalam suatu sistem perekonomian yang berdasarkan pendekatan multi sektoral, makaketerkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya menjadi penting untuk dianalisis. Suatu sektor menggunakan hasil produksi (output) dari sektor lain sebagai input (bahan baku) untuk selanjutnya diproses menjadi produk outputnya, selanjutnya output yang dihasilkan tersebut dapat dipakai sebagai input untuk sektor lain atau dapat dipakai sebagai barang konsumsi. Dengan metode input output, dikenal dua alat analisis keterkaitan yaitu, analisis keterkaitan ke belakang (backward lingkages) dan analisis keterkaitan ke depan (forward lingkages).

a. Analisis ketrkaitan ke belakang (backward lingkages)
Kaitan ke belakang merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor lain yang menyumbangkan input kepadanya. Bakcward lingkages sering dipandang sebagai perwujudan dari sektor yang memiliki basis aktivitas domestik. Apabila suatu wilayah hendak membangun, biasanya keterkaitan ke belakang ini menjadi salah satu indikator yang penting. Apabila sektor ini berkembang, maka sektor ini bisa menarik sektor-sektor yang berada di belakangnya sebagai penyedia input, sehingga dengan mendorong sektor yang forward lingkages-nya kuat maka juga akan membawa pertumbuhan sektor-sektor lain. Untuk menghitung total daya penyebaran digunakan rumus :

Pj = S (I-Ad)-1
Dimana :
Pj = multiplier output
(I-Ad)-1 = matriks kebalikan leontif
I = matriks identitas
A = matriks koefisien input

Sedangkan untuk menghitung pengaruh keterkaitan kebelakang digunakan indeks daya penyebaran dengan rumus sebagai berikut (Robinson Tarigan, 2004 : 105) :
µj = Sibij / (1/n)SiSjbij
dimana : µj = indeks keterkaitan ke belakang
bij = koefisien input sektor j

b. Analisis keterkaitan ke depan (forward lingkages)
Forward lingkage menggambarkan penyerapan output suatu sektor. Output suatu sektor bisa di serap atau dipergunakan oleh sektor lain sebagai input atau disebut permintaan antara. Output tersebut juga bisa dimanfaatkan secara langsung untuk konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah, pembentukan modal dan stok dan untuk ekspor atau sering disebut sebagai permintaan akhir. Keterkaitan ke depan (forward lingkages) sering dipandang sebagai perwujudan arti penting output suatu sektor sebagai input sektor lain yang memerlukan. Keberadaaan sektor ini mendorong perkembangan sektor yang memerlukan input darinya. Semakin besar keterkaitan ke depan dari sektor ini, maka semakin penting sektor ini dianggap sebagai unggulan.

Untuk menghitung total derajat kepekaan digunakan formula sebagai berikut :
Pj = SI (I-Ad)-1

Dimana :
Pj = multiplier output
(I-Ad)-1 = matriks kebalikan leontif
I = matriks identitas
A = matriks koefisien input
Dengan indeks derajat kepekaan yang biasa dikenal dengan formula forward lingkages adalah :

  • bI = Sjbij / (1/n) SiSjbij
  • dimana : bI = koefisien input sektor j
  • bij = indeks keterkaitan ke depan
Ukuran keterkaitan juga bisa dimanfaatkan untuk mengetahui arti penting sektor. Untuk istilah tabel input output indonesia pada umumnya dipakai istilah indeks daya penyebaran (untuk mengetahui pengaruh ke belakang / backward lingkagesieffect ratio) dan indeks daya kepekaan / forward lingkages effect ratio. Jika suatu sektor memiliki daya penyebaran dan derajat kepekaan lebih dari satu, maka sektor tersebut dapat dijadikan sektor strategis, karena mampu menyerap output dari sektor lain dan mampu memberikan inputnya terhadap permintaan akhir dari sebagian atau keseluruhan sektor dalam perekonomian.

BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Propinsi Jawa Barat
1. Perekonomian Jawa Barat
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 1993-1996 sebelum terjadinya krisis ekonomi tumbuh rata-rata sebesar 8,16% per tahun, terutama disumbang oleh sektor industri dan jasa. Kemudian pada pertengahan tahun 1997 laju pertumbuhan ekonomi terkontraksi sampai angka 4,87% dan titik nadirnya terjadi pada tahun 1998 sebesar –17,17% yang diakibatkan terutama oleh terpuruknya sektor keuangan khususnya perbankan dan industri manufaktur. Selanjutnya pada masa pemulihan, mulai terjadi kenaikan secara bertahap seiring dengan makin membaiknya kondisi ekonomi nasional terutama semakin terkendalinya sektor keuangan, jasa, perdagangan dan industri manufaktur. Pada tahun 1999 tumbuh sebesar 2,1% tahun 2000 sebesar 4,46% dan pada tahun 2001 sebesar 4,06%, dan pada tahun 2002 sebesar 5,53% (PERDA Propinsi Jawa Barat, 2003 : 5).

Selama kurun waktu 1990-2000 kegiatan sektor industri manufaktur menunjukan kontribusi yang makin besar, sedangkan sektor pertanian, pertambangan dan penggalian menunjukan kontribusi yang makin berkurang, namun Jawa Barat masih tetap merupakan wilayah yang berfungsi sebagai lumbung padi nasional.

Ekonomi Propinsi Jawa Barat memiliki peran yang penting secara Nasional, dimana ekonomi propinsi ini termasuk kelompok ekonomi yang relatif sudah maju. Rata-rata kontribusi ekonomi Jawa Barat terhadap perekonomian nasional sebesar 16,6% selama empat tahun terakhir. Peranan ini sempat berkurang pada saat krisis, tetapi setelah krisis pertumbuhan ekonomi Jawa Barat meningkat pesat (Pendapatan nasional Indonesia 1999-2002 : 3)

Struktur ekonomi suatu wilayah dapat tergambar melalui distribusi peranan sektor dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sektor-sektor ekonomi yang menjadi komponen utama PDRB dikelompokan menjadi 9 sektor. Dalam struktur ekonomi nasional, Propinsi Jawa Barat memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan PDB Nasional.

Berdasarkan tabel 4.1 di atas terlihat bahwa kontribusi ekonomi Propinsi Jawa Barat memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari kontribusi masing-masing sektor terhadap sektor nasional. Berdasarkan kesembilan sektor tersebut, sektor industri manufaktur sangat penting terhadap ekonomi Propinsi Jawa Barat (kontribusi terhadap PDRB di atas 35%) dan sektor ini memberikan kontribusi pada industri manufaktur nasional di atas 20%. Berdasarkan tabel di atas juga terlihat bahwa telah terjadi perubahan struktur produksi. Perubahan struktur ini dapat terlihat dari penurunan peran dari sektor primer seperti pertanian yang terus mengalami penurunan dan sektor pertambangan yang juga terus mengalami penurunan. Peran kontribusi PDRB mulai diambil alih oleh sektor sekunder seperti industri manufaktur yang cenderung meningkat dan sektor tersier (jasa) yang perlahan-lahan mulai mengalami peningkatan. Perubahan struktur ini akan membawa dampak antara lain strruktur tenaga kerja, penyebaran penduduk, munculnya migrasi dari desa ke kota, kebutuhan sarana dan prasarana, dan kondisi masyarakat. 

2. Kondisi Perindustrian Jawa Barat
Kebijaksanaan pembangunan kawasan industri di Jawa Barat mengacu kepada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor : 593/SK.629/Bappeda/1990 yang mengalokasikan lahan bagi kawasan industri seluas 18.000 Ha. Disamping alokasi 18.000 Ha juga terdapat alokasi lahan kawasan industri seluas 11.246,77 Ha. Dan berdasarkan hasil pendataan tahun 2000 perkembangan pembangunan kawasan industri di Jawa Barat diperoleh gambaran sebagai berikut :

  1. Lahan yang disetujui untuk kawasan industri seluas 29.247,77 Ha
  2. Lahan yang telah dibebaskan seluas 16.270,74 Ha
  3. Lahan yang siap dijual 8.269,48 Ha
  4. Lahan yang telah terjual kurang lebih seluas 6000 Ha
a. Industri Manufaktur
Kontribusi terbesar dalam pembangunan ekonomi di Propinsi Jawa Barat secara makro tahun 2002 di dominasi oleh sektor industri manufaktur. Oleh karena hampir 60% industri pengolahan Indonesia berlokasi di Jawa Barat, maka perekonomian nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja indutsri di daerah ini. Bahkan sektor industri pengolahan merupakan lapangan usaha terbesar kedua dalam menyerap tenaga kerja setelah pertanian. Untuk itu, kebijakan pembangunan dalam pengembangan sektor ini sangatlah tepat, walaupun akhir-akhir ini sektor industri pengolahan terhempas akibat krisis moneter yang melanda perekonomian nasional.

Pada umunya industri di Jawa Barat berorientasi ekspor, sehingga secara makro dapat meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk devisa. Namun karena industri yang dibangun bukan berbasis ekonomi rakyat atau paling tidak mengunakan bahan baku industri dalam negeri, maka sektor ini rentan terhadap krisis yang melanda dunia bisnis di tanah air.

Dalam pengumpulan data statistik industri, yang dimaksud dengan industri besar adalah perusahaan dengan jumlah pekerja minimal 100 orang, industri sedang dengan jumlah pekerja anatar 20 –99 orang. Industri kecil mempunyai pekerja antara 5-19 orang dan perusahaan yang mempunyai pekerja kurang dari 5 orang termasuk dalam kategori industri rumah tangga. Berdasarkan hasil survei industri besar/sedang tahun 2001 di Jawa Barat terdapat 4.899 buah perusahaan dengan jumlah tenaga kerja terserap sebanyak 1.183.725 orang dan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka jumlah industri besar/sedang mengalami penurunan sebesar 25,76%. Turunnya jumlah industri tersebut dikarenakan propinsi Jawa Barat sudah terbagi 2 dengan Propinsi Banten (BPS, 2002 :225)

Dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2001, perkembangan sektor industri khususnya industri besar sedang di Jawa Barat mengalami fluktuasi yang beragam. Jumlah perusahaan industri besar sedang sampai kurun waktu tahun 2001 sebanyak 4899 atau naik sebesar 7,18% dibandingkan tahun 1996 yang berjumlah 4571. Selama kurun waktu tersebut tercatat jumlah perusahaa industri pernah mengalami penurunan pada tahun 1997 sebesar 1,14% dibandingkan tahun sebelumnya, tapi untuk tahun-tahun berikutnya terus bertambah dan pada tahun 2001 jumlah perusahaannya sama dibandingkan tahun 2000.

Dilihat dari tabel diatas terlihat bahwa peningkatan yang paling tajam terjadi pada tahun 1999 sebesar 6,40% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 1997 dan 1998 memang kondisi perekonomian Indonesia maupun dunia sedang dilanda krisis yang sampai sekarang pun dampaknya masih terasa.

Peningkatan jumlah perusahaan ini lebih banyak terjadi di daearah-daerah yang potensial industrinya seperti Bekasi, Karawang dan Bandung dimana didaerah tersebut banyak terdapat kawasan industri yang sengaja didirikan oleh pemerintah dan akses terhadap sarana transportasi sudah baik sehingga memudahkan untuk memasarkan produk dan memasok bahan baku.

b. Ketenagakerjaan Sektor Industri di Jawa Barat
Pada akhir tahun 2001 terdapat sekitar 1.183.725 orang yang bekerja di perusahaan industri besar sedang Jawa Barat. Jumlah tersebut sudah termasuk pekerja sektor produksi yaitu pekerja yang langsung bekerja di dalam proses produksi atau yang berhubungan dengan itu dan pekerja lainnya yaitu pekerja selain pekerja produksi seperti pimpinan perusahaan, staf direksi, pegawai administrasi, keuangan, pemasaran dan lain sebagainya. Berikut ini adalah tabel perbandingan jumlah pekerja industri dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2001

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa tenaga kerja yang diserap oleh perusahaan dalam kurun waktu 1997-2002 selalu bertambah kecuali pada tahun 1999 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2,56 persen. Selama kurun waktu tersebut sudah ada penambahan tenaga kerja sebanyak 126.766 orang

Semua pekerja di Jawa Barat hampir 44,81 persen bekerja di sektor industri tekstil dan pakaian jadi atau sering diistilahkan tekstil dan produk tekstil (TPT). Diikuti kemudian sektor industri makanan merupakan penyerap tenaga kerja kedua terbesar dengan presentase sebesar 8,11 persen (Jawa Barat Dalam Angka 2002 : diolah)

Berdasarkan kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa sampai tahun 2002 industri yang bergerak di sektor TPT masih berperan besar dalam menyerap tenaga kerja

c. Industri Tekstil
Sejak awal perkembangannya pada permulaan abad 19, Jawa Barat dikenal sebagai pusat industri tekstil nasional, yang terpusat di kota Bandung dan Majalaya. Prospek industri tekstil telah disadari sejak jaman kolonial, hal itu terbukti dengan didirikannya pendidikan formal pertekstilan oleh pemerintahan kolonial yang diberi nama Textile Inricting Bandung, yang sekarang dikenal dengan Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. Diharapkan dengan adanya institusi pendidikan formal ini pembangunan industri tekstil Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat terus ditingkatkan. Hasil nyatanya telah dirasakan saat ini dimana struktur industri tekstil Jawa Barat kini relatif kuat. Terlihat dari tingginya nilai ekspor tekstil Jawa Barat. Nilai ekspor tekstil Jawa Barat untuk tahun 1991 mencapai US$647,47 juta, dan meningkat lebih dari dua kali lipatnya pada tahun 1997 yang mencapai US$1.527,6 juta, dimana kawasan di sekitar Eropa Timur merupakan negara tujuan ekspor utama tekstil Jawa Barat dengan nilai ekspor mencapai 39% dari total nilai ekspor tekstil Jawa Barat (West Java Textil directory 2000-2001 : xi-xiv)

Pentingnya peranan industri tekstil juga terlihat dari kontribusinya terhadap industri tekstil nasional. Kontribusi Jawa Barat terhadap industri tekstil nasional mencapai sekitar 60 persen. Iklim usaha yang kondusif ini memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana Jawa Barat menjadi sumber penghasil utama industri tekstil yang menentukan suksesnya perekonomian nasional.

Berdasarkan data pada Direktori Tekstil Jawa Barat 2000-2001 menggolongkan industri tekstil ke dalam tekstil dan produk tekstil, dimana yang termasuk dalam kategori tekstil adalah pembuatan serat (fiber making), pemintalan (spinning), pertenunan (weaving), perajutan (knitting), dan tahap akhir (finishing), sedangkan yang di maksud dengan produk tekstil adalah pakaian jadi (garment).

Statistik Industri besar Sedang Jawa Barat 2002 menyebutkan bahwa pada tahun 2002, dari 4.899 perusahaan industri besar dan sedang Jawa Barat, 1366 merupakan perusahaan tekstil dan pakaian jadi, dan mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 530.469 orang atau sekitar 45% dari total tenaga kerja di sektor industri manufaktur besar dan sedang di Jawa Barat.

Jumlah perusahaan tekstil terbanyak ada di Kabupaten Bandung sebanyak 911 perusahaan dan mampu menyerap 314.145 orang tenaga kerja, diikuti kemudian oleh Kabupaten bekasi dengan jumlah perusahaan sebanyak 641 dan mampu menyerap 178.379 orang tenaga kerja.

Meskipun Jawa Barat merupakan pusat tekstil nasional, sampai saat ini Jawa Barat masih belum bisa memenuhi kebutuhan kapas (sebagai bahan dasar industri tekstil) sendiri. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan dasar industri tekstil, Jawa Barat masih harus mengimpornya dari luar negeri, impor terbesarnya dari amerika. Hal ini disebabkan dari rendahnya mutu kapas dalam negeri yang tidak terlalu diminati para pengusaha tekstil.

Saat ini 216.864,56 ton kebutuhan serat kapas Jawa Barat merupakan impor dari luar negeri, sedangkan 4.337,29 ton merupakan impor domestik dari beberapa daerah di Indonesia (Sulawesi selatan, Sulawesi tengah, NTB, dll). Jadi impor serat kapas Jawa Barat dari luar negeri mencapai sekitar 98% dari total kebutuhan (Statistik Perdagangan Luar Negeri 2002 :128)

d. Industri Kimia Dasar
Tingginya nilai Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan dari industri kimia dasar menunjukan bahwa sektor ini dapat dijadikan sebagai sektor strategis untuk Jawa Barat.

Tahun 2002 tedapat 251 perusahaan industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, dan mampu menyerap 65.801 orang tenaga kerja. Jumlah ini terbilang menurun jika dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 312 perusahaan dan menyerap tenaga kerja 84.372 orang (statistik Industri besar dan Sedang Jawa Barat 2002,diolah). Hal ini disebabkan UU nomor 23 tahun 2000 yang menyatakan bahwa wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten Namun begitu, industri kimia masih menempati posisi kedua setelah industri tekstil dalam hal invesatsi untuk PMDN dan PMA dengan nilai investasi sebesar Rp719,270 miliyar, sedangkan industri tekstil mampu menyerap investai sebesar Rp2,261 triliyun.

B. Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini juga membahas mengenai hasil perhitungan dari total penyerapan tenaga kerja dalam kaitannya ke depan maupun ke belakang industri manufaktur. Telah diterangkan sebelumnya bahwa penelitian ini akan menggunakan tabel Input-Output Jawa Barat tahun 2000 sebagai alat analilis

Dalam tabel input output tercatat bahwa angka koefisien input atas dasar harga produsen tertinggi sektor industri manufaktur.Jawa Barat adalah sektor industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet & plastik dengan nilai koefisiennya sebesar 0,41055, disusul kemudian industri tekstil, pakaian jadi kulit & alas kaki dengan nilai koefisien sebesar 0,36940. Dari masing-masing sektor tersebut kemudian dipilih sub-sub sektor yang juga memiliki nilai koefisien input tertinggi

Berdasarkan sub-sub sektor ini, nilai tertinggi adalah sektor industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet & plastik adalah sektor industri kimia dasar kecuali pupuk sebesar 0,29296. Sedangkan koefisien tertinggi untuk industri tekstil, pakaian jadi, kulit & alas kaki adalah sektor industri tekstil dengan nilai koefisien sebesar 0,38584.

Untuk menentukan mata rantai keterkaitan masing-masing sektor ini digunakan data yang bersumber dari Statistik Industri Besar Sedang Jawa Barat tahun 2002. Untuk industri tekstil, digunakan pula data dari Direktori Industri Tekstil Jawa Barat 2000-2001.
Dari masing-masing sektor yang sudah diklasifikasikan tersebut kemudian dicari jumlah perusahaannya dan dikalikan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap.

INDUSTRI TEKSTIL

  • Perkebunan Kapas
  • Industri Persiapan Serat Tekstil
  • Industri Pemintalan Benang
  • Industri Penyempurnaan Benang
  • Industri Pertenunan
  • Industri perajutan
  • Industri Penyempurnaan Kain
  • Industri Percetakan
  • Industri Barang Jadi Tekstil, Kecuali Untuk Pakaian Jadi
  • Industri Batik
  • Industri Bordir/sulaman
  • Industri Pakaian Jadi Dari Tekstil
  • Industri Pakaian Jadi Lainnya Dari Tekstil 
INDUSTRI KIMIA DASAR

  • Industri Pengilangan Minyak Bumi, Pengolahan Gas Bumi dan Industri Barang Hasil Kilang Minyak
  • Industri Kimia Dasar Organik, Yang Bersumber dari Minyak Bumi dan Gas Bumi serta dari Batu Bara
  • Industri Kimia Dasar Organik Yang Menghasilkan Bahan Kimia Khusus
  • Industri Damar Buatan (Resin Sintetis) dan Bahan Plastik
  • Industri Barang Dari Plastik
Untuk mengetahui besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang sektor industri tekstil dan industri kimia dasar, berikut ini adalah diagram rantai keterkaitan dari masing-masing sektor.

a. INDUSTRI TEKSTIL
Keterangan :
A. Perkebunan Kapas
B. Industri persiapan serat tekstil
C. Industri pemintalan
D. Industri pertenunan
E. Industri perajutan
F. Industri penyempurnaan kain
G. Industri percetakan kain
H. Industri barang jadi tekstil kecuali untuk pakaian jadi

I. Industri pakaian jadi
Perhitungan keterkaitan ke belakang industri tekstil yang berupa sektor perkebunan kapas, merupakan perhitungan proyeksi penyerapan tenaga kerja yang terserap oleh sektor tersebut. Tahun 2002, Jawa Barat memiliki areal seluas 2.076,9 Ha lahan yang belum diusahakan dan potensial untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan kapas. Data Warintek menunjukan, dari seluruh tahapan pengerjaan perkebunan kapas mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 320 orang. Berikut ini adalah tabel tentang tenaga kerja yang terserap dari masing-masing tahapan

HKP : Hasil Kerja Setara Pria
Jadi total tenaga kerja yang terserap dari areal perkebunan kapas seluas 2.076,9 Ha sebanyak 664.608 orang tenaga kerja (2.076,9 ha dikalikan dengan 320 orang tenaga kerja).

Industri persiapan serat tekstil Jawa Barat tahun 2002 mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 35.899 orang, dan industri ini menyebabkan munculnya industri pemintalan benang yang mampu menyerap 20.398 orang tenaga kerja.

Disusul kemudian dengan muncul pula industri penyempurnaan benang dengan kemampuan menyerap tenaga kerja sebesar 5.433 orang.

Adanya industri penciptaan benang, mendorong munculnya industri kain, yang meliputi industri penyempurnaan dan percetakan kain dengan masing-masing mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 11.280 dan 13.133 orang.

Dengan adanya sektor industri pemintalan, pertenunan, & pengolahan akhir tekstil ini, mendorong terciptanya industri barang jadi tekstil lainnya kecuali untuk pakaian serta industri pakaian jadi, yang masing-masing mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 178.928 orang untuk tahun 2002. Dan sektor industri pakaian jadi inilah yang merupakan keterkaitan ke depan sektor industri tekstil.

Dengan demikian, total keteraitan ke belakang (bsckward lingkage) industri tekstil sebesar 735.680 orang tenaga kerja, sedangkan keterkaitan ke depannya (forward lingkage) sebesar 178.928 orang tenaga kerja.

b. INDUSTRI KIMIA DASAR
Backward Lingkage
Untuk mengetahui besarnya nilai keterkaitan baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang dari sektor industri kimia dasar, berikut ini disajikan diagram rantai keterkaitannya :A,B,C,D

Keterangan :
A. Industri Pengilangan Minyak Bumi, Pengolahan Gas Bumi dan Industri Barang Hasil Kilang Minyak
B Industri Kimia Dasar Organik Yang Bersumber Dari minyak Bumi dan Gas Bumi Serta Dari Batu Bara
C. Industri Damar Buatan (Resin Sintetis) Dan Bahan Plastik

D. Industri Barang Dari Plastik
Dalam digram terlihat bahwa yang merupakan keterkaitan ke belakang industri kimia dasar adalah A yaitu industri pengilangan minyak bumi yang pada tahun 2002 mampu menyerap 500 orang tenaga kerja Jawa Barat. Adanya industri ini mendorong munculnya industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi yang menyerap 1.143 orang tenaga kerja. Kemudian muncul pula industri damar buatan (resin sintetis) dan bahan plastik yang menggunakan bahan baku kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi sebagai bahan dasarnya, dan industri ini mampu menyerap tenaga kerja Jawa Barat sebanyak 958 orang.

Selanjutnya dari indutri damar buatan dan bahan plastik ini mendorong pula tumbuhnya industri barang dari plastik yang mampu menyerrap tenaga kerja sebanyak 37.679 orang. Industri barang dari plastik inilah yang merupakan keterkaitan ke depan industri kimia dasar

Dengan demikian, total keterkaitan ke belakang (backward lingkages) sektor industri kimia dasar menyerap tenaga kerja sebanyak 500 orang. Sedangkan total keterkaitan ke depannya (forward lingkages) mampu menyerap 40.971 orang tenaga kerja Jawa Barat untuk tahun 2002.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Melihat besarnya nilai koefisien input sektor industri manufaktur, khususnya sektor industri kimia dasar (0,41055) dan industri tekstil (0,36940), serta Rencana Strategis Jawa Barat 2003-2008 yang mencantumkan sektor industri manufaktur sebagai salah satu sektor yang akan dikembangkan Jawa Barat untuk tahun 2003-2008, maka penulis mencoba mengangkat sektor industri manufaktur Jawa Barat sebagai tema skripsi.

Berdasarkan hasil analisis dan beberapa keterangan dari bab-bab sebelumnya, kesimpulan yang dapat diambil adalah :

  1. Jumlah total nilai keterkaitan ke belakang dari sektor industri manufaktur Jawa Barat tahun 2001 dengan sub sektor industri tekstil dan industri kimia dasar dalam hal penyerapan tenaga kerja adalah 736.180 orang tenaga kerja. Dengan nilai masing-masing sektor adalah 735.680 orang tenaga kerja untuk sektor industri tekstil, dan 500 orang tenaga kerja untuk sektor industri kimia dasar. Jumlah total nilai keterkaitan ke depan dari sektor industri manufaktur Jawa Barat tahun 2001 dengan sub sektor industri tekstil dan industri kimia dasar dalam hal penyerapan tenaga kerja adalah 216.607 orang tenaga kerja. Dengan nilai masing-masing sektor adalah 178.928 orang tenaga kerja untuk sektor industri tekstil dan 37.679 orang tenaga kerja untuk sektor industri kimia dasar.
  2. Total jumlah tenaga kerja yang mampu diserap sektor industri manufaktur Jawa Barat tahun 2002 sebanyak 1.236.712 orang
  3. Propinsi Jawa Barat secara potensial ada kemungkinan untuk membuka lahan perkebunan kapas yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 664.608 orang tenaga kerja dari lahan seluas 2.076,9 ha.
B. Keterbatasan Studi
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Sulitnya menentukan sektor-sektor yang masuk dalam suatu rantai keterkaitan dikarenakan tidak adanya ketentuan baku mengenai hal tersebut, sehingga kemungkinan masih ada sektor-sektor lain yang merupakan kelanjutan dari mata rantai sektor yang digunakan dalam penelitian ini, yang juga berarti bahwa kemungkinan masih ada tenaga kerja yang tidak terhitung dari sektor-sektor ini
  2. Kurangnya data Jawa Barat dari sektor-sektor yang dibutuhkan untuk tahun terbaru, yang pengaruhnya adalah kurang bisa memperlihatkan kondisi terbaru perekonomian Jawa Barat.
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini, maka saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut;

  1. Dilihat dari besarnya nilai keterkaitan sektor industri dalam hal penyerapan tenaga kerja, Pemerintah Propinsi Jawa Barat sebaiknya memberikan prioritas utama terhadap sektor industri tekstil dan juga sektor industri kimia dasar karena kedua sektor ini memiliki rantai keterkaitan yang panjang dibandingkan dengan sektor lainnya. 
  2. Karena besarnya kontribusi sektor industri tekstil, baik dari segi penerimaan PDRB maupun dari penyerapan tenaga kerja, Pemerintah Propinsi Jawa Barat sebaiknya mempertimbangkan pengadaan perkebunan kapas yang berkualitas tidak kalah dengan produk kapas impor, karena etrnyata perkebunan kapas mpu menyerap banyak tenaga kerja, yang diharapkan bisa mengatasi masalah ketenagakerjaan nasional pada umumnya dan Jawa Barat khususnya.
D. Implikasi Kebijakan
Implikasi yang bisa diperoleh dari kesimpulan ini adalah :

  1. Penggunaan alat analisis tabel input output yang digunakan dalam penelitian ini cukup bermanfaat untuk memahami struktur keterkaitan antar sektor industri dan dampak pengaruh perubahan struktur terhadap perilaku dan kinerja suatu sektor industri.
  2. Metode analisis dengan menggunakan input output ini merupakan salah satu metode yang banyak digunakan dalam proses penusunan rencana pembangunan regional dan sektoral

Makalah Pembangunan Industri dan Pertumbuhan Ekonomi Serta Ketenagakerjaan Rating: 4.5 Diposkan Oleh: frf

0 komentar:

Posting Komentar